Jumat, 13 April 2012

Hukuman Dalam Perspektif Hadist

HUKUMAN DALAM HADITS
(Penerapan Metode Hukuman dalam Mendidik Shalat bagi Anak)

A.      Pendahuluan
Pendidikan shalat bagi anak sejak dini merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh setiap orang tua. Orang tua adalah pendidik yang utama dan pertama. Kegiatan orangtua mendidik anak-anaknya sebagian besar dilakukan di rumah. Bentuk pendidikan yang dilakukan orang tua, di samping memberikan pengajaran, akan lebih baik jika orang tua mampu melakukan pembiasaan, suri tauladan yang baik, dorongan hadiah dan hukuman.
Shalat merupakan pendidikan agama yang amat vital bagi anak, sebagai benteng keagamaan anak agar anak terbebaskan dari cengkraman jahat godaan setan dan hawa nafsu. Begityu pentingnya pendidikan shalat bagi anak ini, sampai-sampai Nabi Muhammad menegaskan dalam sabdanya bahwa, “Perintahkanlah anak-anakmua untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun jika meninggalkannya (tidak mau shalat) dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidur.”
Berdaarkan hadits tersebut, mendidik anak dengan metode hukuman (“pukul”) boleh dilakukan. Tetapi tentu hal ini tidak serta merta membenarkan setiap hukuman boleh diberikan kepada anak yang tidak mau shalat tanpa memperhatikan batasan-batasan tertentu. Hukuman dalam pendidikan memiliki pengertian yang luas, mulai dari hukuman yang ringan samapi pada hukuman berat. Sekalipun hukuman banyak macamnya, Ahmad Tafsir menjelaskan, bahwa pengerian pokok dalam setiap hukuman tetap satu, yaitu adanya unsure menyakitka, baik jiwa maupun badan.[1] Oleh karenanya, hadits di atas yang menjelaksn tentang hukuman dalam mendidik shalat anak, perlu dilakukan kajian yang mendalam atasnya. Agar dapat difahami keshahihan baik sanad maupun matannya, juga pemahaman dari berbagai prespektif untuk memperluas kandungannya.
B.       Sanad dan Matan Hadits
Berikut di bawah ini adalah hadits-hadits yang menjelaskan tentang hukuman dalam mendidik shalat bagi anak. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud, dalam Kitab al-Shalah hadits ke 418, dan diriwayatkan oleh Ahmad Bin Hanbal, dalam Musnad al-Muktatsirin min al-Shahabah, hadits nomor 6402.
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ يَعْنِي الْيَشْكُرِيَّ حَدَّثَنَ إِسْمَعِيلُ عَنْ سَوَّارٍ أَبِي حَمْزَةَ قَألَ أَيُو دَاوُد وَهُوَ سَوَّارُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو حَمْزَةَ الْمُزَنِيُّ الصَّيْرَفِيُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُغَيْبِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرَوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَأءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنُهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muammal Bin Hisyam yakni al-Yasykuri, telah menceritakan kepada kami Ismail dari Sawwar. Abu Dawud mengatakan dialah Sawwar bin Dawud Abu Hamzah al-Muzanni ash-Shairafi, dari Amir bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun jika meninggalkan shalat (tidak mau shalat) dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidurnya.” (Hadits riwayat Abu Dawud).
حدثنا وكيع حدّثناسوّاربن داودٍ عن عمرِ وبْنِ شُعيْبٍ عن ابَيْهِ عن جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُالله صلعم مروا صِبْيَانَكُمْ بِاالصَلاَةِ اِذا بَلَغُوا سَبعًا وضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا اذا بَلَغُوا عَسْراً وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى المَضَاخِعِ (قال ابى وقال الظّفا ويُّ مُحَمَّدُ بْنُ عبد الرّحْمن فى هدا الحديث سوَّرٌ ابن حمزهْ وَاَخْطَأ فِيهِ)
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Wake, telah menceritakan kepada kami Sawwar bin Dawud dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka samapi (berusia) tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika meninggalkan shalat/tidak mau shalat) dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidurnya.” (Hadits riwayat Ahmad bin Hanbal).
Dari dua sampel hadis sebagaimana yang tertuang di atas dapat dibuat skema sanad sebagai berikut :




















Setelah dibuat rangkaian sanad pada dua jalur sebagaimana yang terlihat dalam bagan di atas, dapat diketahui sejumlah 7 (tujuh) periwayat hadis. Urutan nama periwayat dan urutan sanad hadis tersebut adalah :
1.    Jalur Abû Dâwud
a.    Abdullah Bin Amr Bin Luas Bin Wil periwayat ke-1 (sanad ke-7)
b.    Syu’aib bin Muhammad periwayat ke-2 (sanad ke-6)
c.    Amru bin Syu’aib, sebagai periwayat ke-3 (sanad ke-5)
d.   Sawwar bin Dawud, sebagai periwayat ke-4 (sanad ke-4)
e.    Ismail bin Ibrahim periwayat ke-5 (sanad ke-3)
f.     Muamal bin Hisyam sebagai periwayat ke 6 (sanad ke-2)
g.    Abû Dâwud sebagai periwayat ke-7 (mukharrij)
2.    Jalur Ahmad bin Hanbal
a.    Abdullah Bin Amr Bin Luas Bin Wil periwayat ke-1 (sanad ke-7)
b.    Syu’aib bin Muhammad periwayat ke-2 (sanad ke-6)
c.    Amru bin Syu’aib, sebagai periwayat ke-3 (sanad ke-5)
d.   Sawwar bin Dawud, sebagai periwayat ke-4 (sanad ke-4)
e.    Wake bin Jarah, sebagai periwayat ke-5 (sanad ke-3)
f.     Ahamd bin Hanbal, sebagai periwayat ke-7 (mukharrij).

C.      Penelitian dan Persambungan Sanad
1.    Jalur Abu Dawud
a.    Abdullah bin Amru (Wafat tahun 63 H)
Nama lengjkapnya Abdullah bin Amru bin Luas bin Wail. Ia termasuk sahabat nabi. Nama Kunyah-nya Abu Muhammad. Ia menetap di Thaif dan meningal di sana pada tahun 63 Hijriyah. Abdullah bin Amru menerima hadits dari Abi Ka’ab bin Quais, Sarqoh bin Malik bin Ja’sim bin Malik, Abdulah bin Saib bin Abi Saib, Abdullah bin Utsman bin Amr bin Kaab bin Saad, Ali Bin Abi Tholib bin Abdul Mutholib, Amru bin Luas bin Wail bin Hasyim, Muadz bin Jabbal bin Amru bin Aus, Maemun bin Abas bin Ayub, dan Abu Maehabah.
Abdullah bin Amru menyampaikan hadits kepada Ibrahim bin Muhammad bin Tolhah, Abu Jar’ah bin Amru bin Jarir bin Abdullah, Abu Tho’mah an Abdullah bin Amru, Abu Qabus Maula Abdullah bin Amru, Abu Kabsyah, Hadzir, As’ad bin Sahal bin Hanif, Ismail dan lain-lain.
Kualitas periwayatan ‘Abdullah bin Amru dapat dilihat dari pendapat yang menyatakan…

b.    Syu’aib bin Muhammad (Wafat…?)
Nama lengkapnya Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru bin Luas. Ia termasuk dari Tabi’in. ia menetap di Hijaz. Tahun wafatnya tidak ada keterangan yang menjelaskan.
Syu’aib bin Muhammad menerima hadits dari Abdullah bin Amru bin Luas bin Wail, Amru bin Luas bin Wail bin Hasyim, Muhammad bin Abdullah bin Amru bin Luas, dan dari Muawiyah bin Abi Supyan Shohor bin Harb bin Umayah.
Syu’aib menyempaikan hadits kepada Tsabit bin Aslam dan Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru.
Kualitas periwayatan ‘Syu’aib nin Muhammad dapat diketahui dari perkataan Iin Haban yang menyatakan s\iqah, dan Dzahbi yang menyatakan Shoduq.
c.    Amru bin Syu’aib (Wafat tahun 118 H)
Nama lengkapnya Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdulah bin Umar. Ia termasuk dari Tabi’in. Nama Kunyah-nya adalah Abu Ibrahim. Ia wafat pada tahun 118 Hijriyah.
Amru bin Syu’aib menerima hadits dari Anas bin Malik bin Nadhor bin Madhmum bin Zaid, Zaid bin Aslam, Zaenab bin Abi Sa’id, Sa’id bin Musbab bin Hajn bin Abi Wahab bin Amru, Sulaiman bin Yasar, Thusi bin Kaesin, ‘Asom bin Supyan bin Abdullah, Abdullah bin Abi Najeh Yasar, Abdullah bin Amru bin Luas bin Wail, dan lain-lain.
Amru bin Syu’aib menyampaikan hadits kepada Hajn bin Artoh bin Tsuwar, Hasan bin ‘Atiyah, Husain bin Dzukun, Hamid bin Abi Hamid, Hamid bin Quaes, Kholifah bin Khoet bin Kholifah bin Khoet, Dawud bin Abi Hindun.
Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan Yahya bin Sa’id Luqthon yang menyatakan Tsiqoh, Yahya bin Mu’in yang menyatakan Tsiqoh, Ali bin Mudini yang menyatakan Tsiqoh, Ishaq bin Ruhwaeyah yang menyatakan Tsiqoh, Bukhori dan Abu Zar’ah Liraji yang menyatakan Tsiqoh.
d.   Sawwar bin Dawud (Wafat… ?)
Nama lengkapnya Sawwar bin Dawud. Ia termasuk kibâr al-atbâ’. Nama Kunyah-nya adalah Abu Hamzah, ia menetap di Basrah. Tahun wafatnya tidak diketahui.
Sawwar bin Dawud menerima hadits dari Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru. Ia menyampaikan hadits kepada Islmail bin Ibrahim bin Maqsum, Abdullah bin Bakr bin Habib, Muhammad bin Bakr bin Utsman, Muhammad bin Abdul Rahman, Nadhor bin Syamil, dan Wake bin Jarah bin Malih.
 Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan Ahmad bin Hanbal yang menyatkan la ba’sa, Yahya bin Mu’in yang menyatakan Tsiqoh, Bin Haban yang menyatakan Tsiqoh, dan Dzaruqutni yang menyatakan la yatba’ ‘ala ahaditsihi faya’tabiru bihi.
e.    Ismail bin Ibrahim (Wafat tahun 193 H)
Nama lengkapnya Ismail bin Ibrahim bin Maqsum. Nama Kunyah-nya Abu Basyar. Ia menetap di Basyrah, dan wafat di Baghdad pada tahun 193 Hijriyah.
Ismail bin Ibrahim menerima hadits dari Ibrahim bin ‘Ala’I, Ishaq bin Suwaed bin Hubareoh, Ismail bin Kholid, Ayub bin Abi Tumaemah Ques, dan Bard bin Sunan.
Ismail bin Ibrahim menyampaikan hadits kepada Ibrahim bin Dinr, Ibrahim bin Suaid, dan Ibrahim bin Abdullah bin Hatm.
Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan Syu’aib bin Hajaz yang menyatakan Sayid limuhaditsin, Ahmad bin Hanbal yang menyatakan ilaihi limuntaha fi lititsabati, ‘Ali bin Mudini yang menyatakan ma aqulu an ahad atsbata fi lihaditsi inhu, Yahyabin Mu’in yang menyatakan Tsiqoh, Nasa’I yang menyatakan Tsiqoh, dan Muhammad bin Sa’d yang menyatakan Tsiqoh.


f.     Muawwal bin Hisyam (Wafat tahun 253 H)
Nama lengkapnya Muawwal bin Hisyam. Nama Kunyah-nya Abu Hisyam. Ia menetap di Negara Basyrah dan meninggal di sana pada tahun 253 Hijriyah.
Muawwal bin Hisyam menerima hadits dari Ismail bin Ibrahim bin Maksum. Ia menyampaikan hadits kepada Bukhori, Nasai, dan Abu Dawud.
Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan Abu Hatm Razi yang menyatakan Shoduq, Abu Dawud Sujaestani yang menyatakan Tsiqoh, Nasai yang menyatakan Tsiqoh,Muslim bin Qosim yang menyatakan Tsiqoh, dan Bin Haban yang menyatakan Tsiqoh.
g.    Abu Dawud (Wafat tahun 275 H)
Nama lengkapnya adalah Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’as\ bin Syaddâd al-Azdî al-Sijistânî. Ia lahir pada tahun 202 H. Ia malang melintang ke berbagai negeri dan berulang kali keluar masuk Baghdad. Ia tinggal di Basrah dan meninggal di sana pada 16 Syawwal 275 H.
Abû Dâwud menerima hadis dari Abu al-Walîd al-T}ayâlîsî, Mûsâ bin Ismâ-îl, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
Abû Dâwud menyampaikan hadis kepada Ibrâhin bin Hamdân al-‘Âqûlî, Abû Îsâ, dan lain-lain.
Penilaian ulama terhadap kualitas Abû Dâwud tidak bisa disangsikan karena dia termasuk salah satu periwayat/perawi kitab hadis standar (al-kutub al-sittah) yang menjadi kitab rujukan di bidang hadis.
2.    Jalur Ahmad bin Hanbal
Dari jalur Ahmad bin Hanbal penulis hanya menjelaskan riwayatnya Wke bin Jaroh dengan Ahmad bin Hanbalnya sendiri, karena dari Sawwar bin Dawud (ke atasnya) sampai Abdullah bin Amru satu jalur dengan jalur Abu Dawud (penjelsan masing-masingnya sudah penulis uraikan di atas).
a.       Wake (Wafat tahun 196 H)
Nama lengkapnya Wake bin Jarah bin Malih. Nama Kunyahnya Abu Sufyan. Ia menetap di Kufah dan meninggal di sana pada tahun 196 Hijriyah.
Wake bin Jarah menerima hadits dari Ibn bin Sum’ah, Ibn bin Abdullah bin Abi Hajm, Ibn bin Yazid, Ibrahim bin Ismail bin Majmu bin Yazid, Ibrahim bin Tohmah bin Syu’aib, dan Ibrahim bin Afdhal.
Wake bin Jaroh menyampaikan hadits kepada Ibrahim bin Ishaq bin Ais, Ibrahim bin Sa’id,  Ibrahim bin Musa bin Yazid bin Zudan, Ahmad bin Abdullah bin Abi Syua’ib Muslim, Ahmad bin Muhammad bin Tsabit, Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abi Raja, Ahmad bin Mani’ bin Abdur Rahman, dan Ishaq bin Ibrahim bin Muholid.
Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan maroatu io ‘iy lil’ilmi wala ikhfado minhu, Yahya bin Mu’in yang menyatakan “saya melihat di hafal”, Ajli yang menyatakan Tsiqoh, Yaqub bin Syaebah yang menyatakan Hafidz, Muhammad bin Sa’d yang menyatakan Tsiqoh, dan Ibn Hiban yang menyatakan Hafidz.
b.      Ahmad bin Hanbal (Wafat tahun 241 H)
Nama lengkapnya  Ahmad bin Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî. Ia lahir di Baghdad 20 Rabi’ul Awwal 164 H., dan dan meninggal di Baghdad pada tanggal 22 Rabi’ul Awwal tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal menerima hadis dari Hasyim bin Basyîr, Ibrahîm bin Sa’ad, Yahya bin Adam, Wakî’ bin al-Jarrâh, Abd al-Rahmân bin Mahdi, Qâd}i Abû Yûsuf, Muhammad bin Ja’far, Suraij bin al-Nu’mân bin Marwân, dan lain-lain.
Para ulama yang mengambil hadis dari Ahmad bin Hanbal antara lain adalah para periwayat kutub al-sittah, ‘Ali al-Madîni, Yahya bin Ma’în, Dah}îm al-Syâmî, Ahmad bin Abî al-Harâwî, Ahmad bin Sâlih al-Misrî, dan lain-lain.
Karena  termasuk salah seorang ulama fiqh dan hadis, maka tidak ada satupun ulama yang menjarh Ahmad bin Hanbal, sehingga ia sangat terpercaya.
Berdasarkan penelitian terhadap sanad hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal berkualitas Shahih al-Sanad, karena seluruh rawi dinyatakan Tsiqoh dan seluruh sanadnya bersambung, serta tidak terdapat Syudzudz dan ‘illah.

D.      Penelitian Matan
Menurut M. Syuhudi Ismail, sebuah hadits dinilai shahih matannya apabila, tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an. Kedua, tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat. Ketiga, tdak bertentangan dengan akal, indra dan sejarah, dan keempat, susunan kalimatnya menunjukan sabda kenabian.[2]
  1. Tidak Bertentangan dengan Petunjuk Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an banyak ayat berbicara tentang shalat, tetapi di sini penulis hanya mengambil ayat-ayat yang mengandung perintah shalat dan tanggung jawab orangtua terhadap keluarga (anak), diantaranya adalah:
a.    Ayat tentang Kewajiban Orangtua, QS. At-Tahrim ayat 6:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Di dalam tafsir al-Maraghi diterangkan bahwa yang dimaksud dengan al-ahl (keluarga) di sini mencakup istri, anak, budak laki-laki, dan budak perempuan.[3] Di dalam ayat ini terdapat isyarat mengenai kewajiban seorang suami/bapak mempelajari fardhu-fardhu agama yang diwajibkan baginya dan mengajarkannya kepada istri dan anak-anaknya.
b.      Ayat-Ayat tentang Perintah Shalat secara Umum. Yaitu terdapat dalam QS. An-Nur ayat 56 dan QS. Al-Ankabut ayat 45:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# öNà6¯=yès9 tbqçHxqöè? ÇÎÏÈ  
Artinya: Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. An-Nur: 56).
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ  
Artinya:  Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut: 45).
c.       Ayat tentang Perintah Shalat untuk Keluarga, yaitu terdapat dalam QS. Maryam ayat 55 dan QS. Thaha ayat 132:
tb%x.ur ããBù'tƒ ¼ã&s#÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ Ío4qx.¨9$#ur tb%x.ur yZÏã ¾ÏmÎn/u $wŠÅÊötB ÇÎÎÈ  
Artinya: Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya. (QS. Mryam: 55).
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur $pköŽn=tæ ( Ÿw y7è=t«ó¡nS $]%øÍ ( ß`øtªU y7è%ãötR 3 èpt6É)»yèø9$#ur 3uqø)­G=Ï9 ÇÊÌËÈ  
Artinya:  Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (QS. Thaha: 132).
d.      Ayat tentang Perintah Shalat kepada Anak. Yaitu terdapat dalam QS. Lukman ayat 17:
¢Óo_ç6»tƒ ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# ÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ  
Artinya:  Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukman: 17).

  1. Tidak Bertentangan dengan Hadits yang Lebih Kuat
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَ،ْ اْلأَعْمَشِ قَالَ حَدَّثَنِي شَقِيقٌ قَالَ سَمِعْتُ حُذَيْفَةَ قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ عُمَرَ ضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَحْفظُ قَوْلَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْفِتْنَةِ قُلْتُ أَنَا كَمَا قَالَهُ قَألَ إِنَّمَ عَلَيْهِ أَوْ عَلَيْهِا لَجَرِيءٌ قُلْتُ فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُ هَا الصَّلاَةُ وَالصَّوْمُ وَالصَّدَقَةُ وَاْلأَمْرُ وَالنَّهْيُ قَالَ لَيْسَ هَذَا أُرِيدُ وَلَكِنْ الْفِتْنَةُ الَّتِي تَمُوجُ كَمَا يَمُوجُ الْبَحْرُ قَالَ لَيْسَ عَلَيْكَ مِنْهَأ بَأْسٌ يَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابًا مُغْلَقً قَالَ أَيُكْسَرُ أَمْ يُفْتَحُ قَالَ يُكْسَرُ قَالَ إِذًا لاَ يُغْلَقَ أَبَدًا قُلْنَا أَكَانَ عُمَرُ يَعْلَمُ الْبَابَ قَالَ نَعْمْ كَمَا أَنَّا دُونَ الْغَدِ اللَّيْلَةَ إِنِّي حَدَّئْتُهُ بِحَدِيثِ لَيْسَ بِا ْلأَغَالِيطِ فَهِبْنَا أَنْ نَسْأَلَ حُذَيْفَةَ فَأَمَرْنَا مَسْرُوقًا فَسَأَلَهُ فَقَالَ الْبَابُ عُمَرُ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبَّادٌ هُوَابْنُ عَبَّادِ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ عَنْ ابِنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدِمَ وَفْدُ عَبْدِ الْقَيْسِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا إِنَّا مِنْ هَذَا الْحَيِّ مِنْ رَبِيعَةَ وَلَسْنَا نَصِلُ إِلَيْكَ فِي الشَّهْرِ الْحَرامِ فَمُرْنَا بِشَيْءٍ نَأْخُذْهُ عَنْكَ وَنَدْعُو إِلَيْهِ مَنْ وَرَاءَنَا فَقَالَ آمُرُكُمْ بِأَرْبَعٍ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ أَرْبَعِ اْلإِيمَانِ بِاللهِ ثُمَّ فَسَّرَهَا لَهُمْ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَأَنْ تُؤَدُّوا إِلَيَّ خُمُسَ مَا غَنِمْتُمْ وَأَنْهَى عَنْ الدُّبَّاءِ وَالْحَنْتَمِ وَالْمُقَيَّرِ وَالنَّقِيرِ
حَدَّثَنَأ مُحَمَّدُبْنُ الْمُثَنَّى قَألَ حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنَ قَيْسٌ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ بَيَعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

  1. Tidak Bertentangan dengan Akal Sehat, Indra dan Sejarah
Hadits tentang hukuman bagi anak yang tidak (belum) mau melaksanakan shalat tersebut bisa difahami bahwa kandungannya tidak bertentangan dengan akal sehat, indra maupun sejarah. Hadits tersebut justru merupakan perintah kepada kebajika; yaitu perintah kepada orangtua agar mendidik anak-anaknya agar mau dan gemar melaksanakan shlat. Muhammad Nur Abdul Hafidzh Suwaid, sebagaimana yng dikutip oleh Muhammad al-Bani, menyebutkan pilar-pilar pendidikan yang amat vital untuk meneguhkan benteng kegamaan bagi anak, agar mereka tangguh menghadapi godaan setan dan hawa nafsu, yaitu: Pilar pertama shalat. Pilar kedua, masjid. Dan pilar ketiga, puasa.[4]
Tujuan memerintahkan anak untuk shalat pada dasarnya ialah untuk mengajarkan ketaatan dan disiplin sejak dini agar mereka terbiasa melakukannya, di samping anak diberikan keteladanan. Dalam prosesnya, anak disuruh mendirikan shalat dengan pengertian dan cara-cara yang lembut dan kasih sayang, namun mendidik anak dengan kasih sayang bukan berarti meniadakan sama sekali hukuman terhadap perilaku anak yang salah, dengan batasan-batasan tertentu dan tidak sewengang-wenang.

  1. Susunan Kalimatnya Mengandung Sabda Kenabian
Muhammad Shalahuddin al-Adlabi, berpendapat bahwa terdapat beberapa hal yang tidak menyatakan ciri-ciri sabda kenabian, di antaranya ialah; (1) mengandung makna yang serampangan dengan pemberitahuan akan hal-hal yang berlebihan, (2) mengandung makna yang rendah atau lebih cenderung pembodohan terhadap akal, (3) ebih menyerupai perkataan ulama khalaf tentang pembelaan pada golongan tertentu.[5]
Dilihat dari susunan lafal matan, hadits yang diteliti semuanya semakna yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal. Walaupun terdapat sedikit perbedaan (yaitu pada kata Auladakum ini pada matan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, dan Shibyanakum ini pada matan yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal), namun perbedaan lafal tersebut pada dasarnya tidak memiliki makna/kandungan yang berbeda. Semuanya menyiratkan satu makna yaitu perintah untuk mendirikan shalat.
Demikian pula pada lafal-lafa tentang batasan usia anak yang diperintahkan untuk mendirikan shalat (diberikan hukuman “pukul” jika tidak mau melaksanakan shalat). Walaupun ada sedikit perbedaan lafal, namun senada dan memiliki pengertian yang sama, yakni perintah untuk mendirikan shalt kepada anak dimulai dari usia tujuh tahun dan apabila disuia sepuluh tahun anak tidak mau shalat maka ada perintah untuk melakukan pukulan terhadap anak.
Berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan oleh M. Shalahuddin al-Adlabi di atas, apabila dilihat dari kesederhanaan redaksi matan hadits dan kandungan matan hadits yang wajar, tidak berlebihan serta tidak ada isyarat pembelaan terhadap golongan tertentu, dan tidak ada indikasi pembodohan terhadap akal maka matan hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal yang diteliti menunjukan ciri-ciri sabda kenabian.

E.       Hukuman Bagi Anak yang Tidak Mau Shalat; Tinjauan Prespektif Pendidikan dan Psikologi
  1. Prespektif Pendidikan
Dalam pendidikan dikenal dua istilah terkait dengan metode pendidikn, yaitu reward and funishment (hadiah dan hukum). Rewaard/hadiah bagi mereka yang “baik” dan berpretasi, dan hukuman bagi mereka yang “bandel” dan belum berprestasi. Hukuman digunakan sebagai metode pendidikan pada dasarnya bukan bertujuan untuk menyakiti peserta didik, melainkan sebagai motivasi/dorongan agar mereka mau berusaha lebih baik lagi.
Dalam hal ini, al-Ghazali (tokoh pendidikan Islam), sebagaimana yang dikutip Nasruddin Thaha, menyatakan bahwa hukuman dalam pendidikan anak (termasuk dalam mendidik shalat bagi anak) harus memiliki karakteristik yang didasarkan pada tujuan kemaslahatan, bukan untuk menghancurkan perasaan peserta didik, menyepelekan hrga dirinya dan menghinakan gengsinya. Kewajiban pendidik kepada anak didiknya adalah mengendalikan dan membinanya.[6]
Sedangkan Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip Thaha, menyatakan bahwa dalam mendidik anak tidak boleh menggunakan cara-cara kekrasan dan kebengisan karena hal itu akan melenyapkan kegembiraan peserta didik serta akan menghilangkan kegiatan bekerja dan pada akhirnya anak-anak akan sering berdusta, menjadi pemalas, dan akan menjadi orang-orang yang busuk hati. Jadi, barang siapa yang dididik dengan kekerasan dan paksaan diantara anak-anak maka mereka akan terpengaruhi oleh kekerasan dan paksaan itu dan merasa sempit jiwa dalam perkembangannya. [7]
Bila dicermati dari pendapatnya Ibnu Khaldun tersebut, pada prinsipnya Ibnu Khaldun tidak setuju jika dalam mendidik anak dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Oleh karenanya, kalaupun metode hukuman (pukul) perlu digunakan ketika anak tidak mau shalat, maka hendaknya hukuman (pukulan) itu tidak mengandung kekerasan apalagi kebengisan. Pastinya hukuman (pukulan) itu dilakukan sewajarnya, sehinga tidak menyakiti apalagi membuat anak menjadi meninggal dunia.
Muhammad Rasyid Dmas, sebagaimana yang dikutip Muhammad al-Bani, mengemukakan beberapa patokan atau rambu-rambu dalam memberikan hukuman (berupa pukulan) yang harus diperhatikan oleh para orangtua dan pendidik, yaitu: Pertama, hukuman fisik merupakan jalan terakhir. Kedua, menghindari hukuman fisik saat marah. Ketga, tidak memukul muka dan kepala. Keempat, anak didik dipukul setelah mencapai usia sepuluh tahun. Kelima, berilah kesempatan kepada anak untuk bertaubat dan meminta maa. Keenam, tidak menyerahkan hukuman pada orang lain. Ketujuh, tidak menjadikan hukuman sebagai sarana untuk mempermalukan anak di depan umum. Kedelapan, tidak berlebihan dalam menghukum dan tidak menjadikannya sebagai pola permanen dalam berinteraksi dengan anak.[8] 
Berdasarkan beeberapa pendapat di atas, dalam konsepsi pendidikan yakni dalam rangka menghormati peserta didik, hukuman pada umumnya dan hukuman badan pada khususnya dapat dilakukan apabila dipandang perlu untuk dapat memperbaiki anak didik yang bersalah atau menyimpang dari norma-norma yang telah ditentukan. Pada prinsipnya, memberikan “pukulan” pada anak yang berusia sepuluh tahun(mendekati masa baligh dan wajib untuk mendirikan shalat) adalah “boleh” sebagai jalan terakhir apabila anak tidak mau melaksanakan shalat.
  1. Prespektif Psikologi
Perintah mendidik anak untuk mendirikan shlat (memberikan hukuman kepadanya apabila tidak mau melaksanakan shalat) pada umur tujuh tahun sesuai dengan ilmu jiwa perkembangan. Fase-fase pertumbuhan manusia, yaitu:
a.    Periode I (0tahun – sekitar 7 tahun), ialah periode penerimaan atau penangkapan dunia luar dengan perantaraan indra;
b.    Periode II (sekitar 7 tahun – sekitar 12 tahun), yaitu periode rencana abstrak. Anak mulai memperhatiakan masalah kesusilaan dan moral, menilai perbuatan baik dan buruk dan timbang rasa. Pada fase ini, anak sangat tepat diberi pendidikan kesusialaan;
c.    Periode III (sekitar 12 tahun – sekitar 18 tahun), ialah periode penemuan diri dan kepekaan sosial;
d.   Periode IV (sekitar 18 tahun ke atas), ialah periode pendidikan tinggi.[9]
Berdasarkan klasifikasi fase-fase pertumbuhan anak tersebut di atas, pada usia sepuluh tahun di mana anak mulai belajar tentang moral dan kebaikan. Maka hukuman yang diberikan kepadanya apabila tidak melaksanakan shalat merupakan teguran baginya untuk memperbaiki perilakunya menjadi lebih baik.
Bila dilihat dari akibat pemukulan terhadap anak yang luar biasa pengaruhnya terhadap jiwa anak, maka pukulan hendaknya semampunya untuk dihindari walaupun diperbolehkan. Misalnya diganti dengan alternatif-alternatif lain yang bisa mendidik, seperti melarang anak bermain di luar rumah atau memtong uang jajannya (dilatih untuk tidak boros). Dengan cara ini anak dilatih untuk belajar konsekuensi-konsekuensi, bila berbuat baik akan mendapat kebaikan, dan sebaliknya.

F.   Kesimpulan
Berdasarkan penelitian terhadap hadits tentang hukuman bagi anak yang tidak mau shalat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.      Berdasarkan I’tibar sanad, hadits yang diteliti termasuk hadits ahad masyhur.
2.      Sanadnya shahih karena semua rawi dinilai Tsiqoh, dan sanadnya bersambung serta terhindar dari Syudzudz dan ‘illah.
3.      Matannya shahih dan maqbul karena sesuia dengan kaidah keshahihan matan.
4.      Hukuman (pukul) bagi anak yang tidak mau shalat (padahal sudah berumur sepuluh tahun) berdasarkan tinjauan pendidikan dan psikologi, pada prinsipnya boleh asal masih dalam kategori wajar dan dalam batas-batas tertentu.



[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam dalam Prespektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 186.
[2] M. Syuhudi Ismail,  metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 192), hlm 63-64.
[3] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid 28, terj. Anshori Umar Sitangal, Hery Noer Aly, Bahrun Abu Bakar, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm. 273.
[4] Muhammad Al-Bani, Anak Cerdas Dunia Akhirat, (Bnadung: Mujahid Pres, 2004), hlm. 273.
[5] M. Shalahuddin al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadits, terj. Qadiran Nur Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2004), hlm. 270.
[6] Nashruddun Thah, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Zaman Jaya; Imam al-Ghazali, Ibnu Khaldun, (Jakarta: Mutiara, tt), hlm. 43.
[7] Ibid., hlm. 106.
[8] Muhamad al-Bani, Anak, hlm. 49.
[9] Jamaluddin Mahfudz, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, terj. Abdul Rosyid Shidiq dan Ahmad Vathir (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), hlm. 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar