Minggu, 25 Maret 2012

Sejarah Islam Periode Khulafa al-Rasyidin

BAB  I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang  Masalah

Pada permulaan Abad ke-VII M datanglah pembawa obor kesejahteraan dan kemanusiaan, Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir sekaligus Rahmatalli’alamin bagi umat manusia  dengan Islam sebagai ajaran agama yang baru. Ajaran kebenaran yang menjadi perombak total sistem sosial kemasyarakatan muncul ditengah-tengah gurun pasir yang tandus dan masyarakat terbelakang dengan predikat “jahiliah” dikarenakan moral mereka sudah luntur dan jauh dari keyakinan ketauhidan. Setalah memperoleh Kenabian, Muhammad SAW menyampaikan ajaran tauhid selama 23 tahun dan setelah setelah hijrah ke Madinah selama 13 tahun.[1]
Nabi Muhammad SAW, di samping sebagai Rasulullah juga sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Setelah beliau wafat, fungsi sebagai Rasulullah tidak dapat di gunakan oleh siapapun manusia di dunia ini, karena pemilihan fungsi tersebut adalah mutlak dari Allah SWT. Fungsi beliau sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat harus ada yang menggantikannya. Selanjutnya pemerintahan Islam dipimpin oleh empat orang sahabat terdekatnya. Kepemimpinan dari para sahabat Rasul ini di sebut periode Khulafa al-Rasyidin (para pengganti yang mendapatkan bimbingan ke jalan yang lurus). Empat khalifah tersebut adalah:
1.        Abu Bakar ash Shiddiq 11-13 H/632-634 M
2.        Umar Ibn Khattab 13-23H/634-644 M
3.        Utsman Ibn Affan 23-35H/644-656 M
4.        Ali Ibn Abu Thalib 35-40H/656-661 M[2]
Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali dinamakan periode Khilafah Al-Rasyidih. Para Khalifah nya disebut Al-Khulafa’ al-Rasyidin (Khalifah-Khalifah yang mendapat petunjuk)
Dengan wafatnya Rasulullah, umat muslim dihadapkan pada suatu krisis konstitusional. Rasulullah tidak menunjukkan siapa sebagai penggantinya, bahkan tidak pula membantuk suatu majlis untuk masalah tersebut. Sejumlah suku melepaskan diri dari kekuasaan madinah dan menolak memberikan penghormatan kepada Khalifah yang baru, bahkan menolak pemerintahannya. Sebagian dari mereka bahkan menolak Islam. Adanya golongan yang telah murtad, ada yang mengaku dirinya sebagai Nabi dan mendapat pengikut/pendukung, ada juga golongan yang tidak lagi mau membayar zakat karena mereka mengira zakat itu adalah upeti kepada Muhammad.[3]
Pembangkangan ini terjadi akibat sebagian umat Islam dikarenakan Keislamannya yang belum baik. Hal ini disebabkan karena luasnya wilayah Arabia dan jauhnya dari pusat pemerintahan sehingga sulit untuk dijangkau. Akibatnya mereka masuk islam tetapi belum mempelajari Islam itu sendiri. Mungkin mereka masuk Islam tetapi tanpa keimanan, ada juga yang masuk islam untuk menghindari peperangan melawan kaum muslim, karena mereka tidak tau bahwa kaum muslim berperang semata-mata untuk membela diri bukan untuk menyerang.
B.       Permasalahan
1.         Pengertian Khalifah dan Khulafa' al-Rasyidin
2.         Biografi singkat tentang Khulafa’ al-Rasyidin
3.         Kebijakan dalam perkembangan Islam pada masa Khulafa’ al-Rasyidin
4.         Sejarah singkat tentang sebab-sebab terjadinya perang Jamal dan perang Siffin
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Khalifah Dan Khulafa’ al-Rasyidin.
Kata khalifah berasal dari kata fi’il madi khalafa. Khilafah berakar dari huruf kha, lam, fa, mempunyai makna pokok, yaitu “pengganti, belakang, dan perbuatan”.[4] Menurut Louis Ma’luf Yasu’i dalam kamus al-Munjid, khalifah diterjemahkan sebagai pengganti.[5] Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Sedangkan definisi dari al-Khulafa’ al-Rasyidin adalah Khalifah-Khalifah yang mendapat petunjuk. Gelar al-Khulafa’ al-Rasyidin hanyalah untuk empat sahabat yang menjabat menjadi Khalifah secara berturut-turut, yaitu: Abu Bakar Shiddiq, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib, mereka diberi gelar al-Khulafa’ al-Rasyidin karena mereka benar-benar menurut teladan Nabi.
B.       Biografi singkat tentang Khulafa’ al-Rasyidin.

1.         Abu Bakar al-Shiddiq
Setelah Rasulullah wafat maka Islam mengalami satu kekosongan kepemimpinan, karena Rasulullah tidak menonjukkan secara langsung siapa yang akan menggantikannya untuk memimpin umat Islam. Sehingga mereka tidak segera untuk memakamkan jasad Rasulullah, tetapi banyak yang mengutamakan membicarakan siapa pengganti Rasulullah setelah ia wafat.
Sistem pemilihan khalifah ada dua yaitu: secara musyawarah oleh beberapa sahabat, dan berdasarkan atas penunjukkan khalifah sebelumnya. Para sejarawah mengungkankan bahwa proses pengangkatan Abu Bakar diwarnai dengan perdebatan di Saqifah Bani Sa’idah, dan dihadiri oleh Mihajirin dan Ansor, dalam pertemuan itu akhirnya mereka bersepakat memilih Abu Bakar sebagai khalifah dan dikukuhkan secara aklamasi.  Terpilihnya Abu Bakar tentu melalui  proses dan kriteri-kriteria diantaranya; syarat utama adalah minimal usia 40 tahun, apalagi bagi kepala suku/kepala negara.[6]
Abu Bakar merupakan Khalifah pertama dan orang paling terpercaya dan pembantu Nabi yang paling setia, dilahirkan di Makkah dua setengah tahun setelah tahun gajah, atau lima puluh setengah tahun sebelum dimulai hijrah. Di masa pra Islam dikenal sebagai Abul Ka’ab dan waktu masuk Islam Nabi memberinya nama Abdullah dengan gelar al-Shiddiq (orang terpercaya). Ia termasuk suku Quraisy dari bani Ta’im. Dialah pemimpin yang sangat dihormati sebelum dan sesudah memeluk Islam. Sering Abu Bakar mengunjungi Nabi dan ketika turun wahyu, ia sedang berada di Yaman. Setelah kembali kelompok Makkah ia mendengar para pemimpin Quraisy seperti Abu Jahal, Ataba dan Shaba mengejek pengangkatan Muhammad menjadi Rasul Allah, Abu Bakar menjadi sangat marah, lalu bergegas kerumah Nabi dan langsung memeluk agama Islam. Menurut Suyuti, Nabi berkata “Apabila saya menawarkan agama Islam kepada seseorang, biasanya orang itu menunjukkan keraguan sebelum memeluk agama Islam. Tetapi abu bakar adalah suatu pengecualian, dia memeluk agama Islam tanpa ada keraguan pada dirinya. Ia merupakan pemeluk Islam pertama diantara orang dewasa.
Disamping itu pernyataan tentang kesetiaanya mengikuti sunnah Rasulullah, menggambarkan bahwa ia berkomitmen meneladani Rasululllah dan menjadikan al-Qur’an serta sunnah sebagai landasan konstitusi kekhalifahannya. Dalam pidatonya Abu Bakar, secara tidak langsung telah memberikan pesan bahwa sebuah pemerintahan tidak boleh berlangsung secara otoriter, namun harus berjalan dengan musyawarah. Dari pidatonya Abu Bakar, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil, diantaranya:
§   kerendahan hati seorang pemimpin dan tidak boleh sombong serta tidak boleh sewenang-wenang terhadap yang dipimpinnya.
§   pemimpin harus berusaha menjadi pemimpin yang baik.
§   kesadaran, kerelaan dan ketaatan sepenuh hati untuk membantu pemimpin yang baik dalam mengemban amanah selagi tidak menyimpang dari jalan Allah.
§   kesiapan diri seorang pemimpin, untuk menerima kritik, saran dan masukan dari siapapun,
§   kewajiban untuk mengingatkan pemimpin, atau siapapun yang menyimpang dari syariat Allah.
Semasa Abu Bakar, corak kekhalifahan sangat sentralistis,[7] yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat pada tangan khalifah,[8] hal ini dapat dimaklumi karena pengalaman umat Islam dalam politik masih sangat terbatas. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar tidak ada lembaga oposisi yang mengkritis kebijakan kekhalifahan. Umat Islam menerima secara aklamasi khalifah terpilih setelah ketetapan tersebut ditetapkan oleh sahabat. Sebagai tanda untuk menunjukkan kesepakatan tersebut adalah dengan memberikan sumpah setia (baiat) kepada khalifah terpilih, dari baiat inilah seorang khalifah diakui kekhalifahannya, kegiatan baiat sendiri sebenarnya sudah dipraktekkan sejak jaman Nabi sebagai sumpah setia untuk menjalankan ajaran Islam.
Abu Bakar wafat pada tanggal 23 Jumadil Akhir 13 H, dalam usia 63 tahun dan dimakamkan dekat makam Rasulullah saw. Beliau dikenang oleh para sahabat sebagai khalifah yang sangat taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta berbudi luhur, tidak sombong dan amat sederhana.[9]
2.         Umar Ibn Khattab
Setelah Abu Bakar meninggal maka kepemimpinan dilanjutkan oleh Umar Ibn Khattab, yang sudah direkomendasikan oleh khalifah Abu Bakar pada masa pemerintahannya. Umar memimpin umat Islam selama sepuluh tahun, yakni 13-23 H/ 634-644 M, jauh lebih lama dari khalifah pendahulunya. Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh Umar untuk memperbaiki sistem khalifah, baik dalam mengatur wilayah, pejabat, lembaga maupun undang-undangnya, dengan bekal selama mendampingi Rasulullah dan Abu Bakar.
Gelar yang disandang Umar bukan lagi khalifah Rasulillah, melainkan Amir al-Mu’minin, hal ini umar bukan tidak bertindak sebagai pengganti Rasulullah dan Abu Bakar, pertimbangannya Umar tentunya adalah dalam masalah bahasa, bukan subtansinya. Menurut berbagai sumber gelar ini di pilihnya kurang cocok dengan sebutan khalifatu khalifati Rasulillah ((pengganti-pengganti Rasulullah) karena menurut Umat terlalu panjang.
Umar adalah khalifah yang mengembangkan dasar-dasar demokrasi secara utuh, dia membuat lembaga konsultan/ penasehat. Keduanya dinamai Syura (semacam MPR), jika menemui masalah yang sangat penting, maka ia meminta tolong kepada Syura. Umar mendeklarasikan “tidak ada khalifah tanpa musyawarah”[10] mekanisme pengangkatan pejabat pada masa Umar sudah diatur dengan ketat.
Umar Ibn Khattab lahir di Mekkah, tahun 40 sebelum hijrah, nenek moyangnya memegang jabatan duta besar dan leluhurnya adalah pedagang. Ia salah satu dari tujuh belas orang Mekkah yang terpelajar ketika keNabian dianugrahkan kepada Nabi Muhammad saw. Umar masuk Islam pada umur 27 tahun. Dahulu ia adalah salah satu musuh Islam yang sangat kuat. Sehingga pada suatu hari, demikian diceritakan, ia hendak pergi membunuh Nabi, ditengah perjalanan untuk melaksanakan niatnya itu bertemu Na’im bin Abdullah yang menanyakan tujuan kepargiannya tersebut. Umar lalu menceritakan tentang keputusannya agar ia lebih baik memperbaiki urusan rumah tangannya sendiri lebih dahulu. Seketika itu umar kembali ke rumah dan mendapatkan ipar lelakinya sedang asik membaca kitab suci al-Qur’an, umar tentu saja sangat marah dan memukul sang ipar dengan ganas, pukulan yang tidak membuat maupun adiknya meninggalkan Islam, pendirian adiknya yang teguh itu justru menenteramkan hatinya dan malahan ia meminta nya membaca kembali baris-baris al-Qur’an. Permintaan tersebut dipenuhi kandungan arti dan alunan ayat-ayat kitabullah ternyata membuat umar begitu terpesonanya, sehingga ia bergegas ke rumah Nabi dan langsung memeluk agama Islam.
Khalifah yang telah membawa angin revolusi kekhalifahan tersebut wafat secara tragis, dia dibunuh oleh seorang budah persia bernama Fairus alias Abu Lulu pada tahun 23 H / 643 M. Namun beruntung dia sempat meninggalkan wasiat tentang mekanisme penggantian khalifah sesudahnya.
3.         Utsman Ibn Affan
Utsman Ibn Affan Ustman dikenal sebagai Abu Abd Usmah, dilahirkan di Mekkah, Zunnuraian adalah julukan kehormatannya yang diberikan karena ia mengawini dua anak perempuan Nabi berturut-turut, ia termasuk keluarga besar Umayyah dari suku quraisy. Setelah melalui pendidikan dasarnya, Ustman menjalankan usaha nenek moyang nya yang menjadi pedagang Arab terkemuka. Di seluruh Hijaz ia terkenal dengan kejujuran dan integritasnya serat kesolehan dan kerendahan hatinya. Ia sahabat dekat Abu bakar, khalifah Islam pertama, Abu Bakar lah yang pertama kali membawa berita tentang Islam kepadanya. Bersama dengan Talkhah bin Ubaidilah, ia masuk Islam langsung melalui Nabi, ia sempat disiksa dengan kejam oleh pamannya sendiri, hakim, karena pilihan nya kepada agama baru itu, namun Ustman tetap menolak melepaskan kembali agama Islam.
Ustman senantiasa berperang serta dalam setiap peperangan mempertahankan agama Islam yang baru berkembang. Pada perang Badar, Nabi meminta Ustman menjaga istrinya Rukoyah, yang sedang dalam sakaratul maut. Ustman meninggal pada waktu subuh hari jumat bulan zulhijah tahun 35 H, atau bertepatan dengan tahun 656 M, ( usia 83 tahun) ketika sedang membawa al-Qur’an ia dibunuh dirumahnya oleh kelompok pemberontak dari Mesir yaitu oleh Homran bin Sudan. Peristiwa ini kemudian oleh sejarawan bernama Thaha Husein dengan sebutan fitnah al-Kobro.
4.         Ali Ibn Abu Thalib
Ali Ibn Abu Thalib Ali yang kuniyatnya Abul Hasan, dilahirkan pada tahun gajah ke-13, ia keponakan Nabi dan dari suku bani Hasyim, yang dipercayai menjadi penjaga tempat suci ka’bah, jabatan mulia sangat dihormati di seluruh arab. Abi thalib, yang berkeluarga besar, mempercayakan ali dibesarkan dan dididik oleh Nabi, yang sudah dimulai sejak kanak-kanak. Nabi memilih Ali, pemuda yang berbakat, untuk menjadi teman hidup putri kesayangan beliau yang cantik, Fatimah Az Zahra, upacara pernikahan dilaksanakan sangat sederhana, ali pertama kali menunjukkan keberaniannya dalam perang badar, ketika mengalahkan Walid dan Saiba, prajurit arab yang terkenal dalam pertempuran satu lawan satu, ketika membawa panji-panji Islam terbunuh dalam pertempuran di Ohat, ia dengan berani mengambil panji-panji itu lalu membunuh pembawa panji-panji musuh. Karena kepahlwanannya yang luar biasa itu orang menjuluki “Ya Rata Illa Ali”(tak ada pemuda seperti ali)”. Rasa belas kasihan kepada musuh adalah bagian dari watak kesatria. Beberapa kali ali mengampuni orang-orang yang kalah perang. Ali meninggal pada tahun 40 H/661 ketika hendak pergi memimpin shalat subuh di masjid Khuffah, Ali dibunuh oleh oknum Khawarij yang bernama Ibn Muljam.
C.      Kebijakan-Kebijakan Pemerintahan Pada Masa Khulafa al-Rasyidin
1.         Kebijakan-Kebijakan pada masa pemerintahan Abu Bakar.
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar dihadapkan pada keadaan masyarakat sepeninggalan Muhammad SAW. Ia bermusyawarah dengan para sahabat untuk menentukan tindakan yang diambil dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangin semua golongan yang menyimpang dari kebenaran di antaranya: (orang-orang yang murtad, tidak mau membayar zakat dan mengaku dirinya sebagai Nabi), sehingga semuanya kembali kepada jalan yang benar atau harus gugur sebagai syahid dalam memperjuangkan kemuliaan Agama Allah. Ketegasan Abu Bakar ini disambut dan didukung oleh hampir seluruh kaum muslim. Untuk memerangin kemurtadan ini dibentuk sebelas pasukan. Sebelum pasukan dikirim kedaerah sebelum pasukan dikirim kedaerah yang dituju, terlebih dahulu dikirim surat yang menyeru kepada mereka agar kembali kepada ajaran Islam, namun ditidak mendapat sambutan. Terpaksa pasukan dikirimkan dan membawa hasil yang gemilang.
Adapun kebijakan dalam perkembangan Islam pada masa Abu bakar ash Shiddiq antara lain:
·            menyadarkan warga masyarakat yang tidak mau membayar zakat dengan cara menasehati mereka.
·            memerangin Nabi palsu yang mencoba memberontak dan mengancam stabilitas kekhalifahan waktu itu.
·            menugaskan Ali untuk mengamankan kota Madinah yang rawan pasca wafatnya Nabi, Ali menjalankan tugasnya dengan baik.
·            Abu Bakar menerapkan pemerintahan yang sentralistik sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi berdasarkan al-Qur’an dan sunnah.
·            menugaskan Umar bin Khattab sebagai hakim dan Ustman Ibn Affan sebagai deputy yang mengurusi kesekretariatan Negara bersama Zait Ibn Tsabit.
·            pengiriman tentara secara serentak untuk menghadapi para pembangkang di daerah-daerah jazirah Arab guna memanfaatkan sumber daya manusia yang besar dan mengganggur.
·            membukukan al-Qur’an dalam satuan riddah di Yamamah dengan tujuan agar daoat dijadikan pedoman bagi umat Islam sepanjang masa

2.             Kebijakan-Kebijakan pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab
Tindakan yang dilakukan Umar adalah menata pemerintahan dengan membentuk departemen-departemen (diwan), mengadopsi model Persia. Tugas diwan adalah menyampaikan perintah dari pemerintahan pusat ke daerah-daerah dan menyampaikan laporan tentang prilaku dan tindakan-tindakan penguasa daerah kepada khalifah.[11] Untuk melancarkan hubungan antar daerah, Negara di bagi menjadi delapan provinsi yaitu : Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir.
Masa pemerintahan Umar inilah mulai diatur dan diterbitkan tentang pembayaran gaji dan pajak tanah. Terkait dengan masalah pajak, Umar membagi warga Negara dalam dua kelompok yaitu muslim dan non muslim (dzimmy). Bagi muslim diwajibkan membayar zakat, bagi non-muslim dipungut kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak kepala). Bagi muslim diperlakukan hukum menurut agama atau adat islam, bagi non-muslim diperlakukan hukum menurut agama atau adat mereka masing-masing. Agar situasi tetap terkendali, umar menetapkan wilayah Jazirah Arab untuk muslim, wialayah luar Jazirah arab  untuk non-muslim. Untuk mencapai kemakmuran yang merata, wilayah Syria yang sudah padat penduduknya dinyatakan sebagai wilayah tertutup bagi pendatang baru. Pada masa Rasul dan Abu Bakar kekuasaan bersifat sentral (eksekutif, legeslatif, dan yudikatif terpusat pada pimpinan tertinggi). Pada masa Umar lembaga Yudikatif dipisahkan dengan didirikannya lembaga pengadilan, bahkan di daerah-daerah. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban dibentun jawatan kepolisian dan jawatan pekerjaan umum. Untuk mengelolaan keuangan Negara didirikan Baitul Mal. Mulai saat ini pemerintahan Umar sudah menempa mata uang sendiri. Untuk mengenang peristiwa hijrah ditetapkan peristiwa tersebut sebagai awal tahun hijrah[12]. Seluruh kebijakan yang dilaksanakan, pada hakikatnya merupakan upaya mengkonsilidasikan bangsa Arab dan melebur suku-suku Arab ke dalam satu bangsa.
Adapun kebijakan dalam perkembangan Islam pada masa Umar bin Khatab antara lain:         
·            dalam masa sepuluh tahun pemerintahannya dapat mengembangkan perluasan Islam sampai ke Syiria, Palestinma, Iraq, Persia, Dan Mesir.
·            membagi daerah kekuasaan Islam menjadi beberapa wilayah dan di bawah kekuasaan seorang gubernur, seperti kuffah dengan gubernur Attab bin Kazwan
·            membentuk dewan-dewan, seperti Baitul Mal (bendaharawan negara) yang mengatur masuk keluarnya uang dan dewan angkatan perang yang bertugas menulis nama-nama tentara dan mengatur gaji mereka.
·            menetapkan tahun hijriyah sebagai tahun Islam.
·            membangun masjid-masjid, seperti masjidil haram dan masjid nabawi
·            penghapusan perbudakan, pembangunan kota, sekolah dan fasilitas umum.

3.         Kebijakan-Kebijakan Pada Masa Pemerintahan Ustman Ibn Affan
Pemerintahan Ustman Ibn Affan mengalami masa kemakmuran dan berhasil dalam beberapa tahun pertama pemerintahannya. Ia melanjutkan kebijakan-kebijakan Khalifah Umar Ibn Khattab. Pada separuh terakhir masa pemerintahannya, muncul kekecewaan dan ketidakpuasan dikalangan masyarakat, karena ia mulai mengambil kebijakan yang berbeda dari yang sebelumnya. Ustman mengangkat keluargannya (Bani Umayyah) pada kedudukan yang tinggi. Ia mengadakan penyempurnaan pembagian kekuasaan pemerintah, Ustman menekankan system kekuasaan pusat yang menguasai seluruh pendapatan propinsi dan menetapkan seorang juru hitung dari keluarganya sendiri.[13] Dan oleh karena persoalan inilah pada waktu itu Ustman di cap sebagai sebagai pemimpin yang KKN, namun menurut penulis anggapan demikian terlalu dini untuk diuangkapkan, karena yang beranggapan demikian hanya menilai kepemimpinan Ustman dari satu sisi saja tanpa melihat sisi yang lain, kalau dilihat dalam sejarah, Ustman mengangkat para pejabat-pejabatnya tersebut karena alasan profesionalisme, hal ini adanya pemecatan sekaligus pemberian sanksi bagi pegawainya yang melanggar hukum.
Adapun kebijakan dalam perkembangan Islam pada masa Ustman bin Affan antara lain:        
·            melakukan pemecatan beberapa gubernur kerena melakukan korupsi.
·            menyimpan bagian lahan dan tidak membaginya kepada individu-individu untuk reklamasi dan untuk kontribusi sebagai bagian lahan yang diproses oleh Baitul Mal.
·            dibentuknya suatu organisasi keamanan untuk menjamin berlangsungnya keamanan.
·            terbentuknya armada angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menggalau serangan Byzantium di laut tengah
·            mempersatukan kaum muslim di atas satu mushaf.
·            pengumpulan dan penulisan al-Qur’an.

4.         Kebijakan-Kebijakan pada masa pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib
Sebagai khalifah yang keempat, Ali Ibn Thalib meneruskan cita-cita Abu Bakar dan Umar. Ia mengikuti dengan tepat prinsip-prinsip Baitul Mal dan memutuskan untuk mengembalikan semua tanah yang diambil alih oleh Bani Umayyah ke dalam perbendaharaan Negara. Demikian juga hibah atau pemberian Ustman kepada siapanpun yang tiada beralasan, diambil kembali. Ali bertekat untuk menggantikan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Gubernur Kuffah dan Syria, menolaknya. Oleh karenanya khalifah Ali harus menghadapi kesulitan dengan Bani Umayyah,[14] disebabkan kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Ditambah dengan adanya tuduhan penduduk Syria bahwa Ali terlibat dalam peristiwa terbunuhnya Ustman. Terjadilah perang jamal sebegai pertempuran terbuka yang pertama kali terjadi antara sesame muslim, bahkan sesame sahabat Rasul. Walaupun Ali mendapat kemenangannya, ia harus segera menghadapi pasukan Mu’awiyyah dalam perang Siffin yang menumpahkan darah puluhan ribu kaum muslim.[15]
Adapun kebijakan dalam perkembangan Islam pada masa Ali bin Abi Thalib antara lain:        
·            Pemecatan gubernur yang diangkat Ustman yang dianggap nepotisme
·            Menarik kembali tanah yang diberikan Ustman kepada penduduk.
·            Pengurangan anggaran militer untuk pasukan laut, dan menerapkan peninjauan kembali kebijakan yang telah ditetapkan oleh Umar oleh beberapa wilayah.
·            berusahan mengembalikan kembali peerintahan Islam seperti masa khalifah Umar.
·            Memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah dengan alasan pengikutnya banyak di Kufah.

D.      Sejarah Singkat Sebab Terjadinya Perang Jamal dan Perang Siffin
Ketika terjadi fitnah pada pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan ra., Abdulah bin Saba’ (seorang yahudi yang pura-pura masuk Islam) dan kaumnya mendatangi Ali bin Abi Thalib ra. dan kemudian memprovokasinya untuk menggantikan Utsman bin Affan ra. Namun Ali bin Abi Thalib ra. menolak provokasi tersebut bahkan kemudian membunuh sebagian pengikut Abdullah bin Saba’ namun Abdullah bin Saba’ sendiri berhasil melarikan diri ke Mesir. Ketika berada di Mesir dia bertemu dengan beberapa kaum munafiquun untuk merencanakan suatu makar yang hebat. Dengan pengaruhnya, Abdullah bin Saba’ berhasil membuat opini tentang keburukan pemerintahan Utsman bin Affan ra di Madinah. sehingga beberapa orang kaum muslim terpengaruh oleh cerita yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ tersebut.
Setelah dirasakan banyak kaum muslim yang terpengaruh olehnya maka Abdullah bin Saba’ berangkat ke Madinah, beserta rombongannya menuju Madinah. Sesampainya di Madinah Abdullah bin Saba’ dan rombongannya membuat fitnah yang besar terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Saking hebatnya fitnah itu karena juga disebarkan oleh rombongan Abdullah bin Saba’ yang begitu besar jumlahnya maka sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum terpengaruh oleh ucapan kaum munafiquun tersebut sampai–sampai putra Khalifah pertama yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar Ash Shiddiq mendatangi Khalifah Utsman bin Affan ra. dengan marah dan menarik jenggotnya.
Pada puncaknya, kaum munafiquun dan sebagian kaum muslim yang terprovokasi oleh ucapan Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya, mengepung rumah Utsman bin Affan ra. kemudian membunuhnya.
Setelah meninggalnya Utsman bin Affan ra. maka kaum munafiquun dan sebagian sahabat serta kaum muslim yang lain membai’at Ali bin Abi Thalib ra. sebagai Khalifah berikutnya. Kemudian muncullah fitnah yang menyebabkan sahabat terpecah belah yaitu tentang hukuman bagi para pembunuh Utsman bin Affan ra.
Para Sahabat radhiyallahu ’anhum terpecah menjadi 2 kubu yaitu kubu Ali bin Abi Thalib ra. dan kubu ‘Aisyah ra., Mu’awwiyyah ra., Thalhah ra., Zubair ra dan lainnya. Kubu ‘Aisyah ra dan sahabat lainnya menuntut disegerakannya hukuman qishas bagi pembunuh Utsman bin Affan ra. Namun Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. menundanya karena 2 ijtihad; pertama negara dalam keadaan kacau sehingga perlu ditertibkan dahulu dan yang kedua pembunuh Utsman bin Affan ra sebagian adalah munafiquun dan sebagian lagi kaum muslim yang baik yang termakan provokasi, maka Ali bin Abi Thalib ra. membutuhkan kepastiannya. Namun ‘Aisyah ra., Thalhah ra., Zubair ra., dan para Sahabat Nabi yang lain tetap pada ijtihadnya yaitu menuntut Ali bin Abi Thalib ra untuk menyegerakan hukuman qishas terhadap para pembunuh Utsman bin Affan ra.
Akhirnya setelah masing–masing sahabat Nabi tersebut membawa pasukan dan siap untuk berperang, lalu kemudian Ali bin Abi Thalib ra. sepakat dengan pihak ‘Aisyah ra. dan menyetujui untuk menyegerakan hukuman qishas terhadap para pembunuh Utsman bin Affan ra. Rupanya kesepakatan Ali dengan kubu ‘Aisyah ra. membuat gerah kaum munafiquun yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’. Pada malam harinya (Perang Jamal berlangsung pada malam hari), kaum munafiquun menyusup ke barisan sahabat Thalhah ra. dan Zubair ra. dan melakukan penyerangan mendadak. Karena merasa diserang maka kubu Thalhah ra. dan Zubair ra. balas menyerang ke pasukan Ali bin Abi Thalib ra dan perang besar pun tak terhindarkan. Perang ini disebut Perang Jamal dan berakhir dengan kemenangan Ali bin Abi Thalib ra. dan meninggalnya 2 orang sahabat yang dijamin masuk surga yaitu Thalhah ra. dan Zubair ra.[16]
Sahabat Mu’awwiyyah ra. yang pada waktu itu masih menjadi Gubernur di Damaskus menggerakkan pasukannya menuju Madinah dengan tuntutan yang sama yaitu menyegerakan qishas terhadap pembunuh Utsman bin Affan ra. Karena keadaan yang semakin kacau Ali bin Abi Thalib ra. tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut lalu terjadilah perang yang berikutnya yang dikenal dengan nama Perang Shiffin, yang berakhir dengan gencatan senjata meskipun pada waktu itu Ali bin Abi Thalib ra. hampir memenangkan pertempuran tersebut. Lalu Mu’awwiyyah ra. kembali ke Damaskus dan tetap menolak membaiat Ali bin Abi Thalib ra. sebagai Khalifah (Lalu sebagian kaum muslim membai’at Muawwiyyah ra. sebagai Amirul Mukminin). Pada saat itulah, negara Islam terbagi menjadi 2 yaitu; Ali bin Abi Thalib ra di Madinah dan Mua’wwiyyah ra. di Damaskus. Pada kondisi tersebut, ada sebagian kecil kaum muslim yang tidak puas kepada keduanya, dan kaum muslim yang tidak puas kepada Ali ra. dan Mu’awiyyah ra. mereka membentuk firqah baru (inilah firqah pertama dalam Islam, disusul Syiah, Mu’tazilah, Murji’ah, Jahmiyyah, Qadariyyah, Jabbariyyah dan lain sebagainya) yang disebut sebagai Khawarij dan mereka mengkafirkan kedua sahabat Nabi tersebut.
Lalu kaum Khawarij mengutus pembunuh kepada keduanya. Namun qadarullah, hanya Ali bin Abi Thalib ra yang terbunuh, sedangkan percobaan pembunuhan terhadap Mu’awwiyyah ra. dapat digagalkan.
Sejarah Perang Shiffin
Perang Siffin adalah peperangan yang terjadi pada tahun 37 H antara Sayyidina `Ali dan Sayyidina Mu`awwiyah di satu tempat di Iraq yang bernama shiffin. Korban yang ditimbulkan cukup besar, dari pihak Sayyidina Ali gugur 25.000 dan dari pihak Sayyidina Mu`awiyah gugur 45.000 orang.
Jalannya peperangan menguntungkan Sayyidina Ali. Hampir seluruh pasukan Sayyidina Mu`awwiyah lari kocar kacir. Akan tetapi mereka menjalankan suatu siasat yaitu menyerukan “cease fire” (penghentian tembak menembak). Mereka mengikat beberapa lembar kitab al-Qur-an di ujung tombak mereka dan mengacungkan ke atas sambil meneriakkan penghentian tembak menembak dan berhukum kepada al-Qur’an.
Sayyidina Ali pada mulanya tidak menerima ajakan ini, karena beliau mengetahui hal itu hanyalah siasat orang yang hampir kalah. Tetapi Sayyidina Ali didesak oleh sebagian pasukannya, sehingga ada yang mengatakan kenapa kita tidak berhukum kepada Al Quran. Akhirnya, Sayyidina Ali menerima tawaran ‘cease fire‘ dan pulang ke Baghdad, sedangkan Sayyidina Mu’awwiyah pulang ke Dasmaskus. Kemudian disusunlah delegasi dari kedua belah pihak untuk berunding. Delegasi Sayyidina Ali dipimpin oleh Abu Musa al-Asy’ari dan di pihak Sayyidina Mu’awwiyah dipimpin oleh Sayyidina ‘Amru bin ‘Ash.
Kaum Khawarij
Pada saat Sayyidina Ali menerima tawaran perdamaian, sebagian pasukan Sayyidina Ali merasa kecewa dan berbalik. Mereka keluar dari Sayyidina Ali dan dari Sayyidina Mu’awwiyah. Inilah asal usul kaum khawarij. Mereka berslogan ‘laa hukma illaa lillaah’ tidak berhukum kecuali hanya kepada Allah. Inilah slogan kaum khawarij yang kedengarannya cukup bagus tetapi isinya cukup membahayakan.



              












BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Alkhurafa’ur Rasyidin adalah pemimpin yang mendapat petunjuk sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Nama Khulafaur Rasyidin ini hanya untuk empat sahabat yang menjadi khalifah secara berturut-turut setelah Nabi. Mereka adalah orang-orang yang sangat setia kepada Nabi. Pada masa ini, mereka betul-betul menurut teladan Nabi, mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Pemerintahan itu sangat berjasa dalam perkembangan Islam, karena pada masa ini banyak mengadakan ekspansi-ekspansi ke daerah yang non muslim, berkat perjuangan para Khulafaur Rasyidin inilah Islam berkembang keseluruh penjuru dunia.









DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatrim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Depag RI, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Jakarta: Anda Utama,1993
Gufron A. Mas’udi, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
Hussein Bahreisj, 450 Masalah Agama Islam, Surabaya: al-Ihlas, 1980
http://www.pasulukanlokagandasasmita.com/perang-jamal-dan-perang-shiffin-kemenangan- kaum-munafiqun.
Mohammad Husein, Pemerintahan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990
Karim. M. Abdul, Islam di Asia Tengah, Yogyakarta: Bagaskara, 2006
Karim M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007
Tamil Ahmad, Sejarah Muslim Terkemuka, Jakarta: Tamrint, 1987.
Kalsum. Ummi, Sejarah Peradaban Islam dari masa klasik hingga modern, Yokyakarta: LESFI, 2009.
Zainuiddin, Mohammad Jamhari, al Islam 2, Bandung: Pustaka Setia, 1999



[1] M. Abdul Karim, Islam di Asia Tengah, (Yogyakarta: Bagaskara, 2006), hlm. 7.
[2].G.E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, Terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 43.
[3] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid I, ter. Mukhtar Yahya, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hlm. 230.
[4] Abu al-Husain Ahmad Ibn  Faris Ibn Zakariyah Mu’jam al-Lughah Jilid II (Mesir: mustafa al-Bab al-Hlmabi, 1970), hlm. 210.
[5] Louis Ma’luf Yasu’I, al-Munjid fil al-Lughah wa al-Adab wa al-Ulum (Bairut Lebanon: Mat’abah al-Istiqamah, 1973), hlm. 100.
[6] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 78.
[7] Ibid., hlm. 83
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hlm. 36.
[9] K. Ali, The Study of Islamic History Jilid I (New Delhi: Idarah Adabiyah, 1980), hlm. 83.
[10] Ibid., hlm. 104-105.
[11] Ibid,. hlm. 120.
[12] Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan,. hlm. 263.
[13] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian I dan II, terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 83-84
[14] Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Jahdan Ibnu Humam, (Yokyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 62.
[15] Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan,. hlm. 284-286.
[16] http://www.pasulukanlokagandasasmita.com/perang-jamal-dan-perang-shiffin-kemenangan-kaum-munafiqun/