Senin, 16 April 2012

Kepemimpina Perempuan Dalam Dunia Politik


Kepemimpinan Perempuan Dalam Dunia Politik
Oleh: Junaidi



A.      Pendahuluan
Perbedaan gender, yang melahirkan ketidakadilan bahkan kekerasan terhadap perempuan, pada dasarnya merupakan konstruksi sosial dan budaya terbentuk melalui proses yang panjang.  Namun karena konstruksi sosial budaya semacam itu telah menjadi “kebiasaan” dalam waktu yang sangat lama, maka perbedaan gender tersebut menjadi keyakinan dan ideologi yang mengakar dalam masing-masing individu, masyarakat, bahkan negara. Perbedaan gender dianggap ketentuan Tuhan yang tidak dapat di ubah dan bersifat kodrati.
Agama Islam sendiri, menempatkan laki-laki dan perempuan  dalam posisi sejajar. Islam datang mendobrak budaya dan tradisi bangsa Arab, bahkan dapat dikatakan dengan yang revolusioner. Tradisi arab ketika itu secara umum menempatkan perempuan hampir sama dengan hamba sahaya dan harta benda, mereka biasa menguburkan hidup-hidup bayi perempuan, tidak memberikan harta warisan kepada perempuan, poligami dengan belasan perempuan dan membatasi hak-hak perempuan baik dalam wilayah publik maupun domestik.[1]
Kehidupan umat islam dari waktu kewaktu selalu mengalami perubahan, akibat dari perubahan tersebut terutama era ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, hampir segala sesuatu dinilai dengan pertimbangan rasio atau akal, begitu juga dalam hal politik kenegaraan tidak bisa diterima begitu saja, karena tidak sesuai dengan pertimbangan akal sehat. Hadist yang dijadikan landasan bagi ketidakbolehan kepemimpinan politik perempuan dipandang sudah tidak relevan lagi dengan perubahan kondisi struktur budaya sekarang ini.
Menurut jumhur ulama, salah satu syarat yang harus di penuhi bagi seorang khalifah (kepala negara) adalah laki-laki. Hal tersebut didasarkan pada respon Nabi SAW yang mendengar berita bahwa masyarakat Persia telah memilih putri Kisra sebagai pemimpin, kemudian Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَة[2]
Artinya: Dari Abi Bakrah berkata bahwa Nabi Saw bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh putri Kisra, beliau bersabda: “Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita”(HR. Bukhari)
Hadist tersebut di pahami oleh para bahwa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah/imam.[3] Para ulama tersebut menanggapi hadist ini  sebagai ketentuan syariat yang bersifat baku-universal, tanpa melihat aspek-aspek yang terkait dengan hadist, suasana yang melatarbelakangi munculnya hadist, padahal hal-hal yang berkaitan dengan diri Nabi dan dan suasana yang melatarbelakangi atau menyebabkan terjadinya hadist mempunyai kedududkan penting dalam memahami hadist secara utuh.
Disini penulis tidak mempermasalahkan tentang rasionalitas kandungan ajaran hadist tersebut. Tetapi penulis akan mencoba mengkritisi komprenshif, yang menjadi analisis difokuskan pada sanad dan kandungan petunjuk matan dengan menggunakan pendekatan historis-sosial budaya, hal tersebut dimaksudkan untuk kejelasan hadist.
B.       Variasi Sanad dan Matan Hadist.
Konsep yang menyatakan bahwa yang menjadi seorang pemimpin itu harus lelaki berdasarkan informasi yang diperoleh dari riwayat hadist yang datang dari al-Bukhari, al-Tarmizi, al-Nasa’i dan Ahmad ibn Hambal.
Disini penulis hanya mengambil sampel dua hadist yang masing-masing diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Ahmad ibn Hambal, dengan tidak mengurangi substansi hadist dimaksud. Adapun hadist riwayat al-Bukhari sebagai berikut:
حدثنا عثمان بن الهثيم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال: “لقد نفّعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم أيّام الجمل بعدما كدتُ أن ألحقَ بأصحاب الجمل فأقاتل معهم. قال: لمّا بلغ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم أنّ أهل فارس قد ملّكوا عليهم بنت كسرى قال: لن يفلح قوم ولّوا أمرهم إمرأة[4]
Hadist riwayat Ahmad ibn Hambal sebagai berikut:

                                                  v[5]


Berdasarkan kutipan hadist di atas dapat dikemukakan bahwa urutan periwayatan hadist jalur al-Bukhari adalah sebagai berikut:
1.         Usman bin Haisam
2.         al-Hasan
3.         ‘Auf
4.         Abu Bakrah
Sedangkan jalur dari Ahmad ibn Hambal, urutan periwayat adalah:
1.         Aswad bin Amir
2.         Himad bin Salmah
3.         al-Hasan
4.         Abu Bakrah
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sanad kedua hadist tersebut bertemu perawi al-Hasan yang bersumber dari Abu Bakrah. Jika sanad ini diskemakan, maka dapat dilihat sebagai berikut:

C.    Skema Sanad Hadist



 












Berdasarkan skema diatas dapat dilacak kualitas perawi-perawi hadistnya sebagai berikut:
1.      Usman bin Haisam
Nama lengkap perawi ini adalah Usman bin al-Haisam bin Jahm ‘Isa bin Hasn bin al-Munzir Abu ‘Amr al-Basri. Menurut informasi Abu Dawud beliau meninggal dunia pada bulan Rajab 220.[6]
Usman menerima hadist dari ayahnya, juga dari ‘Auf al-‘Arabi, Ibn Juraih, Mubarak bin Fudalah, Hisyam bin Hasan dan lain-lain. Beliau menyebarkan hadist kepada al-Bukhari, Abu Hatim al-Razi, Muhammad bin ‘Abd al-Rahim al-Bazzar dan lain-lain.
Informasi kualitas pribadi Usman dapat didengar dari komentar Abu Hatim yang menilai saduq. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Ijli Ibn Hibban memasukkannya dalam kitab as-siqat.[7]
2.      ‘Auf
Nama lengkap perawi ini adalah ‘Auf bin Abi Jamilah al-‘Abidiy Abu Sahal al-Basri. Beliau lebih populer disebut ‘Auf  al-Arabi. Beliau dilahirkan pada tahun 56 H dan meninggal pada tahun 146.[8]
Guru ‘Auf antara lain Abu raja’al-Aataridi, Abu Usman al-Nahdi, Abu al-Minhal Siyar bin Salamanh, al-Hasan bin Abi al-Hasan al-Basri dan lain-lain. Muridnya antara lain Syu’bah, al-Sauri, Ibn al-Mubarak, Hasyim, Isa bin Yunus, Mu’az bin Mu’az, Usman bin al-Haisam, dan lain-lain.
Kualitas pribadi ‘Auf oleh Ahmad bin Hanbal dinilai siqah, siqah al-hadist. Ibn Ma’in mengatakan siqah. Abu Hatim berkata saduq salih. Al-Nasai menganggapnya siqah sabat, Ibn sa’ad berkata siqah, kasir al-hadist dan Ibn Hibban memasukkannya dalam kitab as-Siqat.[9]
3.      Aswad bin Amir
Nama lengkapnya adalah Aswad bin Amir Syazan Abu ‘Abd ar-Rahman al-Syam. Menurut ibn Hibbah, beliau wafat pada awal tahun 208 H. Guru-gurunya adalah Sya’bah, al-Hasan ibn Sahil dan sejumlah ulama lainnya. Muridnya antara lain adalah Ahmad bin Hanbal, al-Haris bin Abu Usamah, dan lain-lain.[10]
Kualitas pribadi Aswad bin Amir telah menempati peringkat tinggi. Hal ini terlihat dari komentar para kritisi hadist yang menilai terhadap dirinya, Ibn Ma’in misalnya menilai Aswad dengan laba’sa bihi, Ibn al-Madaini menilainya siqah, Abu Hatim mengatakannya saduq, salih, Ibn Sa’ad menilainya salih al-hadist.[11]


4.      Himad bin Salmah
Nama lengkapnya perawi ini adalah Himad bin Salmah bin Dinar al-Basri, beliau meninggal dunia pada tahun 167 H. Guru-gurunya adalah Sabit al-Bannani, Qatadah, pamannya Hamid at-Tawil, Ishak bin ‘Abd Allah bin Abi Talhah, ‘Abd Allah bin Anas, dan lain-lainnya. Murid-muridnya antara lain Ibn Juraih, as-Sauri, Syu’bah, Ibn al-Mubarak, Abu Dawud, Aswad bin ‘Amir Syazan dan lain-lainnya.[12]
Kualitas pribadi Himad dapat ditangkap dari komentar al-Saji yang menilainya hafiz, siqah ma’mun. Ibn Sa’ad menilainya siqah, Al-Ijli memandangnya siqah,  al-Nasa’i menilainya siqah.[13]
5.      Hamid
Nama lengkap perawi ini adalah Hamid bin ‘Abi Hamid al-Tawil Abu Ubaidah al-Khuza’i beliau wafat pada tahun 143 H. Guru-gurunya antara lain Anas bin Malik, Sabit al-Bannani, Musa bin Anas, Ishaq bin ‘Abd Allah bin al-Haris bin Naufal, al-Hasan al-Basri, dan lain-lainnya. Murid-muridnya antara lain kemenakannya yang bernama Himad bin Salmah, Yahya bin Sa’ad al-Ansari, Himad bin Zaid, Syu’bah, Malik ibn Ishaq dan lain-lainnya.[14]
Informasi kualitas pribadi Hamid dapat dilihat dari komentar Yahya bin Ma’in yang menilai Siqah, Al-Ijli menilai siqah, Abu Hatim memandangnya laba’sa bihi dan Ibn Khurasi mengatakan siqah saduq.[15]
6.      Al-Hasan
Nama lengkap perawi ini adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Yasar al-Basri. Ibn Sa’ad meriwayatkan bahwa al-Hasan meninggal dunia pada tahun 110 H. Guru-gurunya antara lain Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Ubadah, ‘Umar al-Khattab, Usman bin Aabu al-As, Abu Bakrah, dan lain-lainnya. Murid-muridnya Hamid At-Tawil, Yazid bin Abu Maryam, Ayyub, ‘Auf al-‘Arabi, bakr bin ‘Abd Allah al-Mazni dan lain-lainnya.[16]
Kualitas pribadi al-Hasan al-Basri ini dapat direkam dari komentar Ibn Sa’ad yang menilai Siqah Ma’mun, Al-Ijli berkata siqah serta Ibn Hibbah memasukkannya dalam kitab as-Siqah.[17]
7.      Abu Bakrah
Nama lengkap perawi ini adalah Nafi’ bin al-Haris bin Kildah bin ‘Amr bin ‘Ilaj bin Abi Salmah Abu Bakrah as-Saqafi. Beliau meninggal dunia pada tahun 50 H. Riwayat lain mengatakan 52 H. Beliau menerima hadist dari Nabi SAW dan menyebarkan hadist tersebut kepada anak-anaknya, Abu Usman al-Nahdi, Rubi bin Hirasy Hamid bin ‘Abd al-Rahman al-Humairi, al-Ahnaf bin Qais. Al-Ijli mengatakan bahwa Abu Bakrah termasuk salah seorang sahabat pilihan.[18]
Berdasarkan pemaparan kualitas perawi yang menolak perempuan untuk dijadikan pemimpin dapat dinilai sebagai berikut:
1.      Mata rantai sanad pada dua jalur (al-Bukhari dan Ahmad bin Hanbal) adalah ittisal. Bersambungnya sanad tersebut dapat dilihat adanya indikator lafaz/siqah tahammul wa ada’al-hadist yang menggunakan tingkat tinggi (haddasana, an), dan dilihat dari kemungkinan bertemunya (liqa) satu perawi dengan perawi sebelumnya. Hal tersebut dapat dilacak dari segi masa hidup para perawi yang tercermin dalam nisbat makan.
2.      Kualitas pribadi periwayatan hadist pada kedua jalur (al-Bukhari dan Ahmad bin Hanbal) menempati peringkat yang tinggi. Hal ini terlihat dari komentar pada kritisi hadist yang menilai terhadap perawi dengan menggunakan istilah-istilah yang merupakan  gabungan antara kapasitas intelektual (ke-dabit-an) dan kualitas pribadi (ke-adil-an). Istilah-istilah tersebut adalah siqah ma’mun, siqah, laba’sa bihi, salih al-hadist. Nilai-nilai inilah merupakan istilah yang menampung nilai tinggi dalam hal keadilan dan kedabitan perawi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadist yang berbicara tentang larangan perempuan menjabat sebagai pemimpin memiliki sanad sahih (sahih al-isnad), atau setidak-tidaknya ittisal al-isnad.

D.      Reinterpretasi Hadist Kepemimpinan Perempuan
Sebagian besar para ulama memahami hadist kepemimpinan perempuan secara tektual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadist tersebut pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis lainnya dilarang. Mereka berpendapat bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Sebagaimana pendapat al-Khattabi misalnya, mengatakan bahwa perempuan tidak sah menjadi khalifah.[19] Selanjutnya asy-Syaukani dalam menafsirkan hadist tersebut menyatakan bahwa perempuan itu tiak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara.[20] Demikian juga dengan para ulama lainnya seperti Ibn Hazm, al-Ghazali, Kamal Ibn Abi Syarif dan Kamal ibn abi Hammam, meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara.[21] Bahkan Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat laki-laki ini sebagai kepala negara sebagaimana syarat sebagai qadi, karena didasarkan pada hadist seperti tersebut sebelumnya.[22]
Dalam memahami hadist tersebut, perlu dicermati terlebih dahulu keadaan yang sedang berkembang disaat hadist itu disabdakan, atau harus dilihat latar belakang munculnya hadist disamping setting sosial pada saat itu.
Begitu juga kita dalam memahami dan mengkaji hadist ini diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya. Sebenarnya jauh sebelum hadist tersebut muncul, yaitu pada masa awal, dakwah Islamiyah dilakukan oleh Nabi SAW di beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu Nabi SAW pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajar mereka untuk memeluk Islam. Diantara pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi adalah Kisra Persia. Sebagaimana dikisahkan sebagai berikut:
Rasulullah telah mengutus Abdullah ibn Hudafah as-Sami untuk mengirim surat tersebut kepada pembesah Bahrain. Setelah tugas dilakukan sesuai dengan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan surat tersebut kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Nabi Muhammad SAW, Kisra menolak dan bahkan merobek-robek surat Nabi itu. Menurut riwayat ibn al-Musayyab, setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, dirobek-robek (diri dan kerajaannya) orang itu”.[23]
Tidak lama kemudian, kerajaan persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dakat raja. Pada akhirnya, diangkatlah seorang perempuan yang Buwaran binti Syairahwaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirim surat Nabi) sebagai ratu (kisra) di Persia, setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepemimpinan. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya (saudara Buwaran) telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan. Karenanya Buwaran kemudian dinobatkan menjadi Ratu. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah itu terjadi pada tahun 9 H.[24]
Dari segi setting sosial dapat dikatakan bahwa menurut tradisi yang berlangsung di Persia sebelum itu, jabatan kepada negara (Raja) dipegang oleh laki-laki. Sedangkan yang terjadi pada tahun 9 H tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai Raja bukan laki-laki lagi, melainkan perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada dibawah derajat kaum laki-laki. Perempuan sama sekali tidak dapat dipercaya untuk ikut serta mengurus masyarakat umum, terlebih-lebih dalam masalah kenegaraan. Hanya laki-laki lah yang dipandang cakap dan mampu mengelola kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti ini tidak hanya berlaku di Persia, tetapi juga berlaku diseluruh jazirah arab. Dalam kondisi kerajaan persia dan setting sosial seperti itulah, wajar kalau Nabi SAW memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadist bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera/sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedangkan perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin.  Andaikata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan sangat dihormati oleh masyarakat, sangat mungkin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik perempuan.
Bekaitan dengan hadist kepemimpinan politik perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa kapasitas Nabi saat menyampaikan hadist tersebut bukan dalam kapasitas sebagai Nabi atau Rasul yang pembicaannya pasti mengandung kebenaran dan bimbingan wahyu, karena untuk mengetahui kapasitas Nabi saat bersabda itu sangat penting sebagaimana dikatakan oleh Mahmud Syaltut “mengetahui hal-hal yang dilakukan oleh Nabi dengan mengaitkannya pada fungsi Nabi ketika hal itu dilakukan, sangat besar manfaatnya”[25]. Tetapi harus  dipahami bahwa pendapat nabi yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkap realitas sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi) pada saat hadist tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi (kepercayaan) dari masyarakat.
Dengan demikian hadist tentang pernyataan Nabi dalam merespon berita pengangkatan Putri Kisra sebagai pemimpin Persia tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala negara; namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi yang memberi peluang adanya dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Nabi tersebut merupakan do’a agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dan jaya dikarenakan sikapnya menghina dan memusuhi Islam, sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pula pada saat menerima kabar tentang dirobeknya surat Nabi oleh Kisra Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Nabi yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat yang pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati oleh masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka.
Jadi, apabila kita memaksakan hadist yang berbentuk ihktibar (informasi/berita) ke dalam masalah syari’at terutama masalah kepemimpinan politik perempuan adalah tindakan yang kurang bijaksana dan kurang kritis serta tidak propesional.
Analisis dan kesimpulan seperti ini juga diperkuat dengan tidak ditemukannya satu buah hadist pun yang secara langsung mensyaratkan pemimpin harus laki-laki, sebagaimana firman Allah SWT :
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(Q.S. al-Baqarah: 30)
Kata khalifah  dalam ayat di atas tidak menunjukkan kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi  yang sama  sebagai khalifah, yang akan mempertanggung jawabkan tugas-tugas kekhalifahannya dibumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
Secara keseluruhan hadist di atas harus dipahami secara konstektual karena memiliki sifat temporal, tidak universal. Hadist tersebut hanya mengungkapkan fakta yang nyata tentang kondisi sosial pada saat hadist itu terjadi dan berlaku untuk kasus negara persia saja.
Fatima Mernissi, seorang pemikir feminisme meragukan hadist tersebut. Dengan merujuk karya Ibn Hajar al-Asqalani yang berjudul Fath al-Bari, ia membeberkan latar belakang munculnya hadist tersebut. Hadist tersebut diungkapkan oleh Abu Bakrah yaitu perawi pertama, setelah terjadinya Perang unta. Karena letarbelakang kejiwaan Abu Bakrah yang membenci terjadinya perang saudara antar kaum muslim, maka ia terdorong untuk menggali ingatannya dan berusaha keras mengingat kembali perkataan Nabi yang pernah disabdakan sekitar 25 tahun sebelumnya.[26] Aisyah yang secara politis kalah dalam pertempuran melawan Ali. Kemudian aisyah meminta dukungan dari berbagai pihak. Abu Bakrah adalah orang yang dihubungi sejak awal, sehubungan dengan kapasitasnya sebagai pembuka kota Basrah.[27]
Masyarakat Muslim di Basrah pada tahun 36 H, dihadapkan pada persoalan yang dilematis, apakah mematuhi khalifah atau mengangkat senjata melawannya. Banyak kaum muslim yang berfikir sejalan dengan Aisyah dengan menyambutnya dan bersedia memberi bantuan sukarelawan dan senjata. Setelah menyingkirkan gubernur yang pro-Ali ia mendirikan markasnya di Basrah. Bersama dengan dua orang sekutunya Talhah dan Zubair, Aisyah terus berkampanye, berunding dan membujuk melalui wawancara pribadi dan pidato di masjid-masjid mendesak orang-orang agar mendukungnya untuk melawan khalifah Ali. Ketika Abu Bakrah dihubingi Aisyah, ia secara terbuka menyatakan sikapnya yang menentang fitnah dan tidak ingin terjadinya perang saudara, kemudian ia menyatakan hadist tersebut.[28]
Imam Malik bin Anas pernah menyatakan:
“Agama ini adalah sebuah ilmu. Oleh sebab itu, perhatikanlah dari mana engkau mempelajarinya. Saya sangat beruntung, dilahirkan di Madinah pada masa ke-70 orang (Sahabat) yang bisa menjadi sumber hadist, masih hidup. Mereka biasa pergi ke masjid dan mulai berbicara: Rasulullah pernah mengatakan begini dan begitu. Saya tidak mengumpulkan sebuah hadist dari yang telah mereka ucapkan, bukan karena orang ini tidak bisa dipercaya, tertapi karena saya melihat mereka kurang memenuhi kualifikasi dalam masalah tersebut.[29]

Menurut Imam Malik, validitas hadist ditentukan tidak saja melalui kapasitas intelektual, tetapi juga adalah moral. Karenanya, perawi meskipun dia adalah sahabat Nabi, memiliki sifat pelupa tidak dijadikan sebagai sumber pengetahun. Namun, kelemahan ingatan dan kapasitas intelektual bukan Cuma satu-satunya kriteria untuk  mengevaluasi perawi hadist. Kriteria yang terpenting justru adalah moral.
Jika kaidah ini diterapkan pada Abu Bakrah, maka periwayatannya akan tertolak. Karena salah satu biografinya menyebutkan  bahwa ia pernah dihukum dan dicambuk oleh khalifah Umar bin al-Khattab, karena memberikan kesaksian palsu.[30] Hal tersebut berkaitan dengan suatu kasus yang sangat serius di bidang hukum pidana, menyangkut tuduhan zina. Ia menjadi salah satu dari empat saksi mata yang diajukan secara resmi untuk membuat tuduhan zina terhadap salah satu sahabat dan politikus terkemuka: al-Mugiran bin Syu’ban melakukan perzinaan. Umar memulai pemeriksaannya, dan ternyata satu dari keempat saksi mata itu mengakui bahwa ia tidak terlalu yakin dengan segala sesuatu yang dilihatnya. Keragu-raguan salah satu saksi, menyebabkan yang lainnya didera karena memfitnah (qadf) sehingga Abu Bakrah pun harus menjalani hukuman dera.
Sesuai dengan prinsip-prinsip maliki dalam fiqh, kedudukan Abu Bakrah sebagai sumber hadist harus ditolak oleh setiap orang pengikut mazhab Maliki.

E.       Penutup
Kalau dilihat dari sisi sanad hadist tentang lerangan kepemimpinan politik perempuan dapat di nilai sahih. Kemudian meskipun hadist larangan kepemimpinan politik perempuan dinilai sahih, ternyata masih berpeluang untuk didiskusikan, dikalangan ulama terdapat para ulama yang tidak sepakat terhadap pemakaian hadist tersebut bertalian dengan masalah perempuan dan politik. Tetapi banyak juga yang menggunakan hadist tersebut sebagai argumen untuk menggusur perempuan dari proses pengambilan keputusan. Jika ditelaah lebih lanjut, maka hadist tersebut mengandung pengertian bayan al-waqi atau pengungkapan fakta realitas yang berkembang pada saat itu, dan tidak dimaksudkan sebagai sebuah ketentuan syariat bahwa syarat pemimpin harus laki-laki.















Daftar Bacaan

Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t).
Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1978)
Abu Falah Abd al-Hayy bin al-Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab Fi Akhbar man Zahab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979)
Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, Terj. Yaziar Radianti, (Bandung: Pustaka, 1991)
Ibn Abd al-Barr, Al-Intiqa fi Fadl al-Salas al-Aimmah al-Fuqaha, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t)
Ibn al-Asir, Usd al-Gabah i Tamyiz al-Sahabah, (t.t. Dar al-Fikr, t.t.)

Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, (Bairut: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t)
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Juz VII, (Bairut: Dar al-Sadir, 1960)
Muhammad Yusuf Musa, Politik dan Negara Dalam Islam,  terj. M. Thalib, (Yogyakarta: Pustaka LSI, 1991)
Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqiqah wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966)
Sayyid sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Semarang: Thoha Putra)
Asy-Syaukani, Nail al-Autar, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.)






[1] QS. An-Nahl (16) ayat 58-59 menggambarkan nilai perempuan dengan pandangan orang-orang Arab waktu itu dulu.
[2] Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t), IV:228; selanjutnya disebut Sahih al-Bukhari, Lihat juga Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978), V: 38,43 dan 47, selanjutnya disebut Musnad Ahmad.
[3]Lihat misalnya al-Khattabi, al-Syaukani, dan lain-lain. Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, (Bairut: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t), V: 298
[4] Sahih al-Bukhari, Jilid III, Juz V, hlm. 136.  Kitab al-Magazi, Bab Kitab al-Nabi ila Kisra wa Qaisar. Hadist Nomor 4073.
[5] Musnad Ahmad, V: 43.
[6] Ibn Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Juz VII, (Bairut: Dar al-Sadir, 1960), hlm. 157-158, selanjutnya disebut Tahzib al-Tahzib.
[7] Tahzib al-Tahzib, VII: 158
[8] Ibid.,VIII: 166-167.
[9] Ibid.,VIII: 167.
[10] Ibid.,I:297.
[11] Ibid.,I: 297.
[12] Ibid.,III:12-13.
[13] Ibid.,III: 15.
[14] Ibid.,III:38.
[15] Ibid.,III: 39.
[16] Ibid.,II:263-266.
[17] Ibid.,II:270.
[18] Ibid.,X:470.
[19] Lihat al-Asqalani, Fath al-Bari, VIII:128
[20] Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Autar, VII:298.
[21] Muhammad Yusuf Musa, Politik dan Negara Dalam Islam,  terj. M. Thalib, (Yogyakarta: Pustaka LSI, 1991), hlm. 60.
[22] Sayyid sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Semarang: Thoha Putra), III: 315.
[23] Al-Asqalani, Fath al-Bari, hlm. 127-128.
[24] Ibid.,hlm. 128.
[25] Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqiqah wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), hal. 510.
[26] Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, Terj. Yaziar Radianti, (Bandung: Pustaka, 1991), hlm. 68
[27] Al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII: 46.
[28] Ibid.,
[29] Ibn Abd al-Barr, Al-Intiqa fi Fadl al-Salas al-Aimmah al-Fuqaha, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), hlm. 16.
[30] Ibn al-Asir, Usd al-Gabah fi Tamyiz al-Sahabah, (t.t.: Dar al-Fikr, t.t.), V: 38.