Selasa, 22 Mei 2012

Sikap Profesionalisme Keguruan MI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Guru adalah unsur manusiawi dalam pendidikan. Jabatan guru telah hadir cukup lama di negara kita tercinta ini, meskipun hakikat, fungsi, latar tugas, dan kedudukan sosiologisnya telah banyak mengalamai perubahan. Guru sebagai salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), memiliki posisi yang sangat menentukan keberhasilan pembelajaran, karena fungsi utama guru ialah merancang, mengelola, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran.
Pendidik  mempunyai  peranan  yang  sangat  penting  dalam  dunia pendidikan, tentunya  dengan  tidak  melupakan  komponen  yang  lain  seperti kurikulum, siswa dan lain-lain. Dalam Islam, kedudukan pendidik sangat tinggi, penghargaan tersebut menempatkan pendidik (guru) setingkat di bawah kedudukan nabi dan Rasul karena pendidik (orang alim/guru) selalu terkait dengan ilmu pengetahuan dan Islam sendiri sangat menghargai pengetahuan, Hal ini tergambar dalam hadist-hadist misalnya, orang berpengetahuan melebihi orang yang senang beribadat, yang berpuasa dan menghabiskan waktu malamnya untuk mengerjakan shalat shalat, bahkan melebihi kebaikan orang yang berperang di jalan Allah.. 
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan jabatan khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan sembarang orang diluar bidang pendidikan, walaupun kenyataan tidak sepenuhnya begitu.[1] Guru menjadi salah satu faktor  penentu kualitas pendidikan. Bila Gurunya memiliki kualitas akademik, berkompeten dan profesional, maka diharapkan proses pendidikan yang berjalan dapat optimal dan menghasilkan out put lulusan yang kompetitif. Sebaliknya, bila Guru tersebut tidak memenuhi kualitas akademik, tidak berkompeten dan tidak profesional maka keseluruhan proses pendidikan tidak akan optimal. Untuk dapat menghasilkan Guru yang profesional maka upaya peningkatan dan pengembangan kompetensi Guru mutlak diperlukan. Selain itu, guru merupakan panutan bagi siswa maupun masyarakat sehingga guru MI harus memiliki sikap atau prilaku yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan tentunya berprilaku sesuai dengan nilai-nilai Islam. Lalu bagaimana sikap profesionalisme keguruan tersebut? Dalam makalah ini, akan dipaparkan sikap profesionalisme keguruan yang ada dalam undang-undang dan dihubungkan dengan keguruan MI.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sikap Guru Profesional
2.      Analisis Penulis Terhadap Penomena Kekerasan dalam Dunia Pendidikan Akhir-Akhir Ini.
C.    Tujuan
1.      Mengetahui Sikap Guru Profesional
2.      Analisis Penulis Terhadap Penomena Kekerasan dalam Dunia Pendidikan Akhir-Akhir Ini.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sikap Guru Profesional
Sikap merupakan sesuatu yang dipelajari dan sikap menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap situasi serta menentukan apa yang dicari individu dalam kehidupan.[2] Sikap mengandung tiga komponen yaitu komponen kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kegiatan mengajar atau mendidik sikap guru sangat penting. Berhasilnya kegiatan belajar mengajar juga sangat ditentukan oleh sifat dan sikap guru.
  1. Sasaran Sikap Profesional
Dalam pengertian yang  sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tampat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di Masjid, rumah dan sebagainya.[3]Sementara secara khusus pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupaun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[4]
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Pasal 1, UU No 14/2005). Sebagai pendidik profesional guru MI mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Baimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya dan bagaimana cara guru berpaiakan dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas. Sebab profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi setandar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi Pasal 1 UU No 14 tahun 2005).
Oleh karena Sikap atau perilaku guru selalu diperhatikan oleh masyarakat, sikap merupakan sesuatu yang dipelajari dan sikap menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap sutuasi serta menentukan apa yang dicari individu dalam kehidupan. Sikap mengandung tiga komponen yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen tingkah laku, sehingga  dalam kegiatan mengajar/mendidik sikap guru sangat penting. Berhasilnya pembelajaran sangat ditentukan oleh sikap dan sifat guru.[5] Guru sangat dihormati, bukan saja oleh siswa akan tetapi masyarakat, oleh karena itu guru harus memiliki sikap dan prilaku yang benar-benar menjadi figure dalam masyarakat, serta berwibawa. Dan yang akan dibahas dalam bagian ini adalah khusus sikap atau perilaku guru yang berhubungan denga profesinya. Hal ini berhubungan dengan bagaimana pola tingkah laku guru dalam memahami, menghayati, serta mengamalkan sikap kemampuan dan sikap profesionalnya. Pola tingkah laku guru yang berhubungan dengan itu akan dibicarakan sesuai dengan sasarannya, yakni sikap profesional keguruan terhadap: 

a.       Peraturan perundang-undangan,
b.      Organisasi profesi, 
c.       Teman sejawat, 
d.      Anak didik, 
e.       Tempat kerja, 
f.       Pemimpin, serta 
g.      Pekerjaan.
  1. Sikap Terhadap Peraturan Perundang-undangan
Dalam rangka pembangunan di bidang pendidikan di Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang meruapakan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan oleh aparatnya, yang meliputi antara lain: pembangunan gedung-gedung pendidikan, pemerataan kesempatan belajar antara lain dengan melalui kewajiban belajar, peningkatan mutu pendidikan, pembinaan generasi muda dengan menggiatkan kegiatan karang taruna, dan lain-lain. Kebijaksanaan pemerintah tersebut biasanya akan dituangkan ke dalam bentuk ketentuan-ketentuan pemerintah. Dari ketentuan-ketentuan pemerintah ini selanjutnya dijabarkan ke dalam program-program umum pendidikan.
Guru merupakan unsur aparatur negara dan abdi negara. Karena itu, guru mutlak perlu mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan, sehingga dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan yang merupakan kebijaksanaan tersebut. Kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan ialah segala peraturan-peraturan pelaksanaan baik yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, di pusat maupun di Daerah, maupun departemen lain dalam rangka pembinaan pendidikan di negara kita.
Setiap guru Indonesia wajib tunduk dan taat kepada ketentuan-ketentuan pemerintah. Dalam bidang pendidikan ia harus taat kepada kebijaksanaan dan peraturan, baik yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional maupun Departemen yang berwenang mengatur pendidikan, di pusat maupun di daerah dalam rangka melaksanakan kebijaksanan-kebijaksanaan pendidikan di Indonesia.
  1. Sikap Terhadap Organisas Profesi
Guru sebagai profesi, sesungguhnya memiliki status yang sederajat dengan profesi lain seperti dokter, apoteker, buruh, jaksa dan lain-lain. Bahkan profesi guru merupakan ibu dari semua profesi karena guru dapat menghasilkan profesi lainnya.[6] Sama halnya dengan profesi lain yang memiliki kumpulan/organisasi, profesi gurupun memiliki organisasi sendiri untuk memperjuangkan hak-haknya dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Guru secara bersama-sama memelihara dan meningktkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. Dasar ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya peranan organisasi profesi sebagai wadah dan sarana pengabdian. PGRI sebagai organisasi profesi memerlukan pembinaan, agar lebih berdaya guna dan berhasil guna sebagai wadah usaha untuk membawakan misi dan memantapkan profesi guru. Keberhasilan usaha tersebut sangat tergantung kepada kesadaran para anggotanya, rasa tanggung jawab, dan kewajiban para anggotanya Organisasi PGRI merupakan suatu sistem, di mana unsur pembentukannya adalah guru-guru. Oleh karena itu, guru harus bertindak sesuai dengan tujuan sistem. Ada hubungan timbal balik antara naggota profesi dengan organisasi, baik dalam melaksanakan kewajiban maupun dalam mendapatkan hak.
Organisasi profesional harus membina mengawasi para anggtoanya. Siapakah yang dimaksud dengan organisasi itu? Jelaskan yang dimaksud bukan hanya ketua, atau sekretaris, atau beberapa orang pengurus tertentu saja, tetapi yang dimaksud dengan organisasi di sini adalah semua anggota dengna seluruh pengurus dan segala perangkat dan alat-alat perlengkapannya. Kewajiban membina organisasi profesi merupakan kewajiban semua anggota dan semua pengurusnya.
Oleh karena itu, semua anggota dan pengurus organisasi profesi, karena pejabat-pejabat dalam organisasi merupakan wakil-wakil formal dan keseluruhan anggota organisasi, maka merekalah yang melaksanakan tindakan formal berdasarkan wewenang yang telah didelegasikan kepadanya oleh seluruh anggota organisasi itu. Dalam kenyataannya, para pejabat itulah yang memegang peranan fungsional dalam melakukan tindakan pembinaan sikap organisasi, merekalah yang mengkomunikasikan segala sesuatu mengenai sikap profesi kepada para anggotanya. Dan mereka pula yang mengambil tindakan apabila diperlukan.
Setiap anggota harus memberikan sebagian waktunya untuk kepentingan pembinaan profesinya, dan semua waktu dan tenaga yang diberikan oleh para anggota ini dikoordinasikan oleh para pejabat organisasi tersebut, sehingga pemanfaatnya menjadi efektif dan efisien. Dengan perkataan lain setiap anggota profesi, apakah ia sebagai pengurus atau anggota biasa, wajib berpartisipasi guna memelihara, membina, dan meningkatkan mutu organisasi profesi, dalam rangka mewujudkan cita-cita organisasi.
Meningkatkan mutu suatu profesi, khususnya profesi keguruan, dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan melakukan penataran, lokakarya, pendidikan lanjutan, pendidikan dalam jabatan, studi perbandingan, dan berbagai kegiatan akademik lainnya. Jadi, kegiatan pembinaan profesi tidak hanya terbatas pada pendiidkan prajabatan atau pendidikan lanjutan di perguruan tinggi saja, melainkan dapat juga dilakuka setelah yang bersangkutan lulus dari pendidikan prajabatan ataupun sedang dalam melaksanakan jabatan.
Usaha peningkatan dan pengembangan mutu profesi dapat dilakukan secara perseorangan oleh para anggotanya, ataupun juga dapat dilakukan secara bersama. Lamanya program peningkatan pembinaan itu pun beragam sesuai dengan yang diperlukan. Secara perseorangan peningkatan mutu profesi seorang guru dapat dilakukan baik secara formal maupun secara informal. Peningkatan secara formal merupakan peningkatan mutu melalui pendidikan dalam berbagai kursus, sekolah, maupun kuliah di perguruan tinggi atau lembaga lain yang berhubungan dengan bidang profesinya.
Di samping itu, secara informal guru dapat saja meningkatkan mutu profesinya dengan mendapatkan infomal guru dapat saja meningkatkan mutu profesinya dengan mendapatkan informasi dari mass media (surat kabar, majalah, radio, televisi, dan lain-lain) atau dari buku-buku yang sesuai dengan bidang profesi yang bersangkutan.
Peningkatan mutu profesi keguruan dapat pula direncanakan dan dilakukan secara bersama atau berkelompok. Kegiatan berkelompok ini dapat beruap penataran, lokakarya, seminar, simposium, atau bahkan kuliah di suatu lembaga pendidikan yang diatur secara tersendiri. Misalnya program penyetaraan D-III guru-guru SMP, adalah contoh-contoh, kegiatan berkelompok yang diatur tersendiri.
Kalau sekarang kita lihat kebanyakan dari usaha peningkatan mutu profesi diprakarsai dan dilakukan oleh pemerintah, maka di waktu mendatang diharapkan organisasi profesilah yang seharusnya merencanakan dan melaksanakannya, sesuai dengan fungsi dan peran organisasi itu sendiri.
  1. Sikap terhadap Teman Sejawat
Dalam ayat 7 Kode Etik Guru disebutkan bahawa “Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.” Ini berarti bahwa:
a.       Guru hendaknya menciptakan dan memlihara hubungan sesama guru dalam lingkungan kerjanya, dan
b.      Guru hendaknya menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial di dalam dan di luar lingkungan kerjanya.
Dalam hal ini kode etik guru Indonesia menunjukkan kepada kita betapa pentingnya hubngan yang harmonis perilaku diciptakan dengan mewujudkan persaan bersaudara yang mendalam antara sesama anggota profesi. Hubungan sesama anggota profesi dapat dilihat dari dua segi, yakni hubungan formal dan hubungan kekeluargaan.
Hubungan formal ialah hubungan yang perlu dilakukan dalam rangka melakukan tugas kedinasan. Sedangkan hubungan kekeluargaan ialah hubungan persaudaraan yang perlu dilakukan, baik dalam lingkungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan dalam rangka menunjang tercapainya keberhasilan anggota profesi dalam membawakan misalnya sebagai pendidik bangsa.
a.       Hubungan Guru Berdasarkan Lingkungan Kerja
Seperti diketahui, dalam setiap sekolah terdapat seorang kepala sekolah dan beberapa orang guru ditambah dengan beberapa orang personel sekolah lainnya sesui dengan kebutuhan sekolah tersebut. Berhasil tidaknya sekolah membawakan misinya akan banyak bergantung kepada semua manusia yang terlibat di dalamnya. Agar setiap personel sekolah dapat berfungsi sebagimana mestinya, mutlak adanya hubunga yang baik di antara sesma personel yaitu hubungan baik antara kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, dankepala sekolah ataupun guru dengan semua personel sekolah lainnya. Semua personel sekolah in iharus dapat menciptakan hubungan baik dengan anak didik di sekolah tersebut.
Sikap profesional lain yang perlu ditumbuhkan oleh guru adalah sikap ingin bekerja sama, saling harga menghargai, saling pengertian, dan tanggung jawab. Jika ini sudah berkembang, akan tumbuh rasa senasib sepenanggungan seta menyadari akan kepentingan bersama, tidak mementingkan kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Dalam suatu pergaulan hidup, bagaimanapun kecilnya jumlah manusia, akan terdapat perbedaan-perbedaan pikiran, perasaan, kemauan, sikap, watak, dan lain sebagainya. Sekalipun demikian hubungan tersebut dapat berjalan lancar, tenteram, dan harmonis, jika di antara meraka tumbuhan sikap saling pengertian dan tenggang rasa antara satu dengna lainnya.
Adapun kebiasaan kita pada umumnya, kadang-kadang bersikap kurang sungguh-sungguh dan kurang bijaksana, sehingga hal ini menimbulkan keretakan di antara sesama kita. Hal ini tidak boleh terjadi karena kalau diketahui murid ataupun orang tua murid, apalagi masyarakat luas, mereka akan resah dan tidak percaya kepada sekolah. Hal ini juga dapat mendatangkan pengaruh yang negatif kepada anak didik. Oleh sebab itu, agar jangan terjadi keadaan yang berlarut-larut, kita perlu saling maaf-memaafkan dan memupuk suasana kekeluargaan yang akrab antara sesama guru dan aparatur di sekolah.
b.      Hubungan Guru Berdasarkan Lingkungan Keseluruhan
Kalau kita ambil sebagai contoh profesi kedokteran, maka dalamsumpah dokter yang diucapkan pada upacara pelantikan dokter baru, antara lain terdapat kalimat yang menyatakan bahawa setiap dokter akan memperlakukan teman sejawatnya sebagai saudara kandung. Dengan ucapan ini para dokter menganggap profesi mereka sebagai suatu keluarga yang harus dijunjung tinggi dan dimuliakan.
Sebagai saudara mereke berkewajiban saling mengoreksi dan saling menegur, jika terdapat kesalahan-kesalihan atau penyimpangan yang dapat merugikan profesinya. Meskipun dalam prakteknya besar kemungkinan tidak semua anggota profesi dokter itu melaksanakan apa yang diucapkannya dalam sumpahnya, tetapi setidak-tidaknya sudah ada norma-norma yang mengatur dan mengawasi penampilan profesi itu.


Sekarang apa yang terjadi pada profesi kita, profesi keguruan? Dalam hal ini kita harus mengakui dengan jujur bahwa sejauh ini profesi keguruan masih memerlukan pembinaan yang sungguh-sungguh. Rasa persaudaraan seperti tersebut, bagikita masih perlu ditumbuhkan sehingga kelak akan dapat kita lihat bahwa hubungan guru dengan teman sejawatnya berlangsung seperti halnya denga profesi kedokteran.
Uraian ini dimaksudkan sebagai perbandingan untuk dijadikan bahan dalam meningkatkan hubungan guru dengan guru sebagai anggota profesi keguruan dalam hubungan keseluruhan.
  1. Sikap Terhadap Anak Didik
Dalam Kode Etik Guru Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa: Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Dasar ini mengandung beberapa prinsip yang harus dipahami oleh seorang guru dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, yakni: tujuan pendidikan nasional, prinsip membimbing, dan prinsip pembentukan manusi Indonesia seutuhnya.
Tujuan pendidikan nasional dengan jelas dapat dibaca dalam UU No. 2/1989 tentang Pendidikan Nasional, yakni membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Prinsip yang lain adalah membimbing peserta didik, bukan mengejar, atau mendidik saja. Pengertian membimbing seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam sistem amongnya. Tiga kalimat padat yang terkenal daari sistem itu adalah ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Ketiga kalimat itu mempunyai arti bahwa pendidikan harus dapat memberi contoh, harus dapat memberikan pengaruh, dan harus dapat mengendalikan peserta didik.
Dalam tut wuri terkandung maksud membiarkan peserta didik menuruti bakat dan kodratnya sementara guru memperhatikannya. Dalam handayani berarti guru mempengaruhi peserta didik, dalam arti membimbing atau mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti bersikap menentukan ke arah pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila, dan bukanlah mendikte peserta didik, apalagi memaksanya menurut kehendak sang pendidik. Mottto tut wuri handayani sekarang telah diambil menjadi motto dari Departemen Pendidikan Nasional RI.
Prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik ini memandang manusia sebagai kesatuan yang bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani, tidak hanya berilmu tinggi tetapi juga bermoral tinggi pula. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memeperhatikan perekmbangan seluruh pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial maupun yang lainnya yan gsesuai dengna hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupan sebagai insan dewasa. Peseta didik tidak dapat dipandang sebagai obyek semata yang harus patuh kepada kehendak dan kemauan guru. Guru mengenal peserta didiknya dengan tujuan agar guru dapat membantu pertumbuhan dan perkembangannya secara efektif, sehingga guru dapat menentukan dengan baik bahan-bahan yang akan diberikan, serta membantu para peserta didik mengatasi masalah-masalah pribadi siswa dan masalah kesulitan belajar siswa guna meningkatkan kemajuan peserta didik.[7]
Guru yang baik, harus bisa membuat siswa bertanya. Pertanyaan merupakan bukti bahwa anak-anak menaruh perhatian pada pembelajaran. Tugas gurulah membuat pembelajaran menjadi menarik, sehingga siswa akan menaruh perhatian dengan bertanya. Perhatian akan merangsang daya eksplorasi siswa untuk menemukan atas pertanyaannya sendiri, inilah yang menurut Romo Mangun dengan “belajar sejati”. [8]

  1. Sikap Terhadap Tempat Kerja
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa suasana yang baik di tempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Hal ini disadari dengan sebaik-baiknya oleh setiap guru, dan guru berkewajiban menciptakan suasana yang demikian dalam lingkungannya. Untuk menciptakan suasana kerja yang baik ini ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: 
a.       Guru sendiri,
b.      Hubungan guru dengan orang tua dan masyarakat sekeliling.
Terhadap guru sendiri dengan jelas juga dituliskan dalm salah satu butir dari Kode Etik yang berbunyi: “Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar.” Oleh sebab itu, guru harus aktif mengusahakan suasana yang baik itu dengan berbagai cara, baik dengan penggunaan metode mengajar yang sesuai, maupun dengan penyediaan alat belajar yang cukup, serta pengaturan organisasi kelas yang mantap, ataupun pendektan lainnya yang diperlukan.
Suasana yang haromis di sekolah tidak akan terjadi bila personil yang terlihat di dalamnya, yakni kepala sekolah, guru, staf administrasi dan siswa, tidak menjalin hubungan yang baik di antara sesamanya. Penciptaan suasana kerja menantang harus dilengkapi dengan terjalinnya hubungan yang baik dengan orang tua dan masyarakat sekitarnya. Ini dimaksudkan untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. Hanya sebagian kecil dari waktu, di waktu justru digunakan peserta didik di luar sekolah, yakni di rumah dan di masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, amatlah beralasan bahwa orang tua dan masyarakat bertanggung jawab terhadap pendidikan mereka. Agar pendidikan di luar ini terjalin dengan baik dengan apa yang dilakukan oleh guru di sekolah diperlukan kerja sama yang baik antara guru, orang tua, dan masyarakat sekitar. Menurut Paulo Freire, pada hakikatnya guru memiliki dua tempat kerja sekaligus, yaitu di sekolah dan di dalam gerakan social (masyarakat).[9] Guru sangat dihormati masyarakat bila guru memberikan pencerahan bukan hanya kepada siswa akan tetapi masyarakat.
Dalam menjalin kerjasama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah dapat mengambil prakarsa, misalnya dengan cara mengundang orang tua sewaktu pengambilan rapor, mengadakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat sekitar, mengikutsertakan persatuan orang tua siswa atau Komite Sekolah dalam membantu meringankan permasalahan sekolah, terutama menanggulangi kekurangan fasilitas ataupun dana penunjang kegiatan sekolah.
Keharusan guru membina hubungan dengan orang tua dan masyarakat sekitarnya ini merupakan isi dari butir ke lima Kode Etik Guru Indonesia.
  1. Sikap Terhadap Pemimpin
Sebagai salah seorang anggota organisasi, baik organisasi guru maupun organisasi yang lebih besar, guru akan berada dalam bimbingan dan pengawasan pihak atasan.
Sudah jelas bahwa pemimpin suatu unit atau organisasi akan mempunyai kebijaksanaan dan arahan dalam memimpin organisasinya, di mana tiap anggota organisasi itu dituntut berusaha untuk bekerja sama dalam melaksanakan tujuan organisasi tersebut. Dapat saja kerja sama yang dituntut pemimpin tersebut berupa tuntutan akan kepatuhan dalam melaksanakan arahan dan petunjuk yang diberikan mereka. Kerja sama juga dapat diberikan dalam bentuk usulan dan malahan kritik yang membangun demi pencapaian tujuan yang telah digariskan bersama dan kemajuan organisasi.oleh sebab itu, dapat kita simpulkan bahwa sikap seorang guru terhadap pemimpin harus positif, dalam pengertian harus bekerja sama dalam menyukseskan program yang sudah disepakati, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Selain sikap terhadap pemimpin, guru pun harus mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin, karena regenerasi kepemimpinan dalam profesi guru akan terus berlanjut. Untuk itu, guru harus memiliki berbagai keterampilan yang dibutuhkan sebagai pemimpin, seperti : bekerja dalam tim, keterampilan berkomunikasi, bertindak selaku penasihat dan orang tua bagi murid-muridnya, keterampilan melaksanakan rapat, diskusi, dan membuat keputusan yang tepat, cepat, rasional, dan praktis.[10]
  1. Sikap Terhadap Pekerjaan
Profesi keguruan berhubungan dengan anak didik, yang secara alami mempunyai persamaan dan perbedaan. Tugas melayani orang yang beragam sangat memerlukan kesabaran dan ketelatenan yang tinggi, terutama bila berhubungan dengan peserta didik yang masih kecil. Barangkali tidak semua orang dikaruniai sifat seperti itu, namun bila seseorang telah memilih untuk memasuki profesi guru, ia dituntut untuk belajar dan berlaku seperti itu.
Orang yang telah memilih suatu karier tertentu biasanya akan berhasil baik, bila dia mencintai dengan sepenuh hati. Artinya, ia akan berbuat apa pun agar kariernya berhasil baik, ia committed dengan pekerjaannya. Ia harus mau dan mampu melaksanakan tugsnya serta mampu melayani dengan baik pemakai jasa yang membutuhkannya.
Agar dapat memberikan layanan yang memuaskan masyarakat, guru harus selalu dapat menyesuaikan kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan permintaan masyarakat, dalam hal ini peserta didik dan para orang tuannya. Keinginan dan permintaan ini selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang biasanya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh karenanya, guru selalu dituntut untuk secara terus-menerus meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan mutu layanannya. Keharusan meningkatkan dan mengembangkan mutu ini merupakan butir yang keenam dalam Kode Etik Guru Indonesia yang berbunyi: Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
Dalam butir keenam ini dituntut kepada guru, baik secara pribadi maupun secara kelompok, untuk selalu meningkatkan mutu dan martabat profesinya. Guru sebagaimana juga dengan profesi lainnya, tidak mungkin dapat meningkatkan mutu dan martabat profesinya bila guru itu tidak meningkatkan atau menambah pengetahuan dan keterampilannya, karena ilmu dan pengetahuan yang menunjang profesi itu selalu berkembang sesuai dengan kemajuan zaman.
Untuk meningkatkan mutu profesi secara sendiri-sendiri,guru dapat melakukannya secara formal maupun informal. Secaar formal, artinya guru mengikuti berbagai pendidikan lanjutan atua kursus yang sesuai dengan bidang tugas, keinginan, waktu, dan kemampuannya.
Secara informal guru dapat meningkat pengetahuan dan keterampilannya melalui mass media seperti televis, radio, majalah ilmiah, koran, dan sebagainya, ataupun membaca buku teks dan pengetahuan lainnya yang cocok dengan bidangnya.
            Apa yang dipaparkan diatas merupakan sikap atau prilaku yang sudah ada dalam undang-undang, sehingga hal tersebut harus menjadi sikap dari setiap orang yang memilih keguruan menjadi profesinya. Lantas bagaimana dengan sikap profesionalisme keguruan MI?.
Lahirnya Madrasah (MI) merupakan bentuk counter terhadap pendidikan sekuler yang dibawa oleh Belanda saat masa kolonial. Dimana pendidikan yang didirikan oleh Belanda adalah dampak dari politik balas budi, sehingga yang dapat merasakan pendidikan modern saat itu hanya oerang-orang tertentu, misalnya kelas ningrat. Sementara masyrakat pribumi dapat merasakn pendidikan hanya di pesantern yang system pengajarannya bersifat tradisional dan diajarkan pengetahuan agama. Untuk menyeimbagkan antara pelajaran ‘umum’ dan agama oleh tokoh masyarkat yang peduli dengan pendidikan dibentuklah lembaga pendidikan yang dinamakan dengan madrasah.
Kini madrasah dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah Sistem Pendidikan Nasional dan berada di bawah pembinaan Departemen Agama. Lembaga pendidikan madrasah ini telah tumbuh dan berkembang sehingga merupakan bagian dari budaya Indonesia, karena ia tumbuh dan berproses bersama dengan seluruh proses perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Kurun waktu cukup panjang yang dilaluinya, yakni kurang lebih satu abad, membuktikan bahwa lembaga pendidikan madrasah telah mampu bertahan dengan karakternya sendiri, yakni sebagai lembaga pendidikan untuk membina jiwa agama dan akhlak anak didik. Karakter itulah yang membedakan madrasah dengan sekolah umum. Dengan karakter tersebut, kami berpandangan bahwa menjadi guru MI professional susah-susah gampang karena guru MI harus bersikap integrasi dan intekoneksi terhadapa keilmuan Islam dan modern. Untuk itu, keguruan MI harus terus berusaha menggali dan me break down konsep-konsep keilmuan keislaman dan modern, agar tidak terjadi dikhotomi ilmu.
Idealnya, untuk menjadi pendidik Islam yang professional memiliki komptensi-komptensi sebagai berikut:[11]
a.       Penguasaan materi al-Islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang yang menjadi tugasnya.
b.      Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode dan teknik) pendidik Islam, termasuk kemampuan evaluasinya.
c.       Penguasaan ilmu dan wawasan pendidikan.
d.      Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan pada umumnya guna keperluan pengembangan-pengembangan pendidikan.
e.       Memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya. Dan menjadikan Rasulullah menjadi tauladan utama karena beliaulah satu-satunya pendidik yang paling berhasil dalam waktu singkat.
f.       Komptensi personal-religius, kemampuan dasar yang pertama bagi pendidik adalah menyangkut kepribadian agamis artinya pada dirinya melekat nilai-nilai lebih yang hendak ditransinternalisasikan kepada peserta didiknya. Misalnya nilai kejujuran, keadilan, musyawarah, kebersihan, keindahan, kedisiplinan, ketertiban, dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut perlu dimiliki pendidik sehingga akan terjadi transinternalisasikan (pemindahan penghayatan nilai-nilai) antara pendidik dan anak didik, baik langsung maupun tidak langsung, atau setidaknya terjadi transaksi antara keduanya.
g.      Komptensi social religious.
Kemampuan dasar selanjutnya ialah menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah social, selaras dengan ajaran Islam. Sikap gotong-royong, tolong-menolong, egalitarian  (perbedaan derajat antar sesama manusia), sikap toleransi, dan lain-lain.
h.      Komptensi Profesional-Religius
Kemampuan dasar ini menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara professional dalam arti mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam persfektif Islam.
 
B.     Analisis Penulis Terhadap Penomena Kekerasan dalam Dunia Pendidikan Akhir-Akhir Ini
Salah satu contoh ungkapan yang merupakan sikap seorang guru yang tidak profesional adalah: “Uuh, dasar geblek...... materi yang mudah saja gak bisa, apa lagi materi yang lain!”.
Ungkapan ini kadang-kadang yang paling banyak ke luar dari mulut guru atau mungkin hanya sekadar mengumpat di dalam hati. Upaya untuk memahami cara belajar siswa memang bukan hal yang mudah, dibutuhkan keterampilan dan seni tingkat tinggi. Betapa sulitnya meyakinkan para guru bahwa setiap siswa punya gaya belajar masing-masing, yang juga selalu berubah-ubah.
Informasi akan masuk ke dalam otak siswa dan tak terlupakan seumur hidup apabila informasi tersebut ditangkap berdasarkan gaya belajar siswa tersebut. Artinya, setiap guru harus mahir mengajar dengan strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa.[12] Apabila paradigma ini benar-benar dipahami oleh guru, guru tidak akan dengan mudah memberikan lebel siswa bodoh atau siswa tidak becus.
Seperti yang kita ketahui bersama akhir-akhir ini banyak tayangan di media massa yang memuat kekerasan dalam dunia pendidikan, baik kekerasan itu dilakukan antara guru dengan siswa, ataupun siswa dengan siswa. Penulis akan mencoba menguraikan kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita baru-baru ini, yaitu:
1.      Guru dengan murid
Banyak guru yang memberi hukuman kepada siswa yang melampui batas dari hukuman yang sewajarnya menjadi hukuman yang kadang-kadang kejam. Seharusnya guru dalam menghukum siswa tidak serta merta menghukumnya, akan tetapi melalui tahapan-tahapan, misalnya dengan memberikan nasihat, apabila nasihat tidak mempan, maka bisa melalui peringatan baik peringatan yang bersifat tertulis maupun peringatan secara langsung atau tersirat, apa bila tidak mempan juga, mungkin guru dalam menghukum siswa bisa melalui sekorsing beberapa hari atau minggu, dibanding dengan menghukum siswa sampai melampui batas.
2.      Murid dengan murid
Kekerasan antara anak-anak atau remaja dalam suatu lembaga atau komunitas sering disebut bullying. Anak-anak dan remaja sangay  rentan menjadi korban model kekerasan ini. Bullying sering diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya.[13] Bentuknya bisa bersifat fisik seperti memukul, menampar dan memalak, verbal sperti memaki, menggosip, dan mengejek, ataupun psikologis seperti mengucilkan, dan mendiskriminasi.
Belakangan, sebagaimana diberitakan berbagai media, tawuran pelajar dan mahasiswa tampaknya menjadi gejala yang semakin memperihatinkan. Peserta didik berkerumunan di jalan-jalan menghadapi peserta didik dari sekolah atau kampus lain. Wajah mereka garang. Bahkan, mereka juga melengkapi diri dengan senjata tajam dan peralatan-peralatan layaknya perajurit yang kesetanan yang ingin menyerang musuh-musuhnya. Padahal, perkelahian (tawuran) itu bukanlah didorong untuk menguasai wilayah musuh, tetapi kadang dipicu oleh masalah yang bersifat sepele. Dengan hal-hal yang hanya dianggap  sepele kemudian dibesar-besarkan hingga menimbulkan permasalahan yang ujung-ujungnya adalah perpecahan antar sesama kaum pendidikan.
 Ketika kekerasan terjadi dalam dunia pendidikan, siapa yang harus disalahkan, pemerintah, para pelajar, para mahasiswa ataukah masyarakat?. Terlepas dari semua itu, sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan kita, baik faktor dari internal pendidikan maupun faktor eksternal pendidikan. Adapun faktor internal adalah seperti kurikulum pendidikan yang lebih menekankan pada aspek kognitif tanpa diimbangi dengan aspek apektif dan psikomotorik siswa itu sendiri, yang menyebabkan banyak penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai moral dari siswa. Adapun faktor eksternal pendidikan adalah faktor lingkungan siswa seperti tempat tinggal, yang bisa mempengaruhi paradigma pemikiran siswa yang bisa menyimpang dari nilai-nilai norma kehidupan.
Akar dari semua tindakan yang jahat dan buruk, tindakan kejahatan, terletak pada hilangnya karakter.[14]Jadi dengan karakter yang kuat adalah sandangan fundamental yang memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup bersama dalam kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan kebaikan dan kebajikan, yang bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan tidak bermoral.
  
KESIMPULAN

Dalam konteks pendidikan, pendidik memainkan peranan sentral. Guru secara langsung mengelola aktivitas pendidikan di lapangan. Pendidik tidak hanya mengajar dan mentranspormasikan ilmu pengetahuan, lebih dari itu, ia (berpeluang untuk) menanamkan nilai-nilai terhadap peserta didik. Pendidik banyak memperoleh kesempatan berbuat bagi arah perkembangan fisik, psikis, dan rohani peserta didik.
Posisi guru dan peserta didik boleh berbeda, tetapi keduanya tetap seiring dan setujuan, bukan seiring terus tidak setujuan. Seiring dalam arti kesamaan langkah dalam mencapai tujuan bersama. Peserta didik berusaha mencapai cita-citanya dan guru dengan ikhlas mengantar dan membimbing peserta didik ke pintu gerbang cita-citanya. Itulah barang kali sikap guru sebagai sosok pribadi yang mulia. Pendek kata, kewajiban guru adalah menciptakan “Khairunnas yakni manusia atau peserta didik yang baik dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Madarasah sebagian besar dikelola oleh swasta, dan terkadang manajemen dapat dikatakan masih amburadul. Meski demikian, hal tersebut harus menjadi peluang bagi guru untuk mengembangkan kemampuannya tentunya guru yang professional, seperti yang telah dibahas di atas,  guru harus memiliki sikap dan prilaku yang harus dipegang oleh setiap guru MI. Tugas guru MI sangat komplek, mulai dari menyeiapkan pembelajaran yang bagus untuk perkembangan siswanya hingga menjadi panutan bagi masyarakat sekitar. Ketika masyarakat menghadapi persoalan-persoalan, guru MI pun tak segan untuk membantu menyelseikannya.
Adapun sikap profesioanal keguruan yang harus dimilki oleh guru, sebagaimana yang dijelaskan diatas yaitu pola yakni sikap profesional keguruan terhadap: peraturan perundang-undangan, organisasi profesi, teman sejawat, anak didik, tempat kerja, pemimpin, serta pekerjaan. Apabila sikap ini dijadikan pedoman, maka yakinlah madrasah akan maju.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya,1993) Departemen Agama RI, Wawasan Tugas Guru dan Tenaga Kependidikan,  Jakarta: 2005.

Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pndidikan Islam, Jakarta: Kultura, 2008.

Dedy Pradipto, Belajar Sejati VS Kurikulum Nasional, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT. Bumi Aksara, September 2007.

Ira Shor & Paulo Freire, Menjadi Guru Merdeka (terj), Yogyakarta: LKIS, cet-I Mei 2001.

Muchlas Samani, Hariyanto, Pendidikan Karakter: Konsep dan Model (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011

Munif Chatib, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, Bandung: Kaifa, 2011.

Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2010.

Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatann Komptensi, Jakarta: Bumi Aksara, Cetakan keempat, Agustus 2006.

Roqib, Nurfuadi, Kepribadian Guru Upaya mengembangkan Kepribadian Guru yang Sehat di Masa Depan, Yogyakarta: Grafindo Litera Media, April 2009.

Suparlan, Guru Sebagai Profesi, Yogyakarta: Hikayat Publishing, Mei 2006.

Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Peserta didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.





[1] Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bumi Akasara, September 2007), hlm.15.
[2] Roqib, Nurfuadi, Kepribadian Guru: Upaya Mengembangkan Kepribadian Guru Yaang Sehat di Masa Depan (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, April 2009), hlm. 157.
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Peserta didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:Rineka Cipta, 2000), hlm. 31.
[4] Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pndidikan Islam (Jakarta: Kultura, 2008), hlm. 62.
[5] Roqib, Nurfuadi, Kepribadian Guru, hlm. 157.
[6] Suparlan, Guru Sebagai Profesi, (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2006), hlm.23.
[7] Departemen Agama RI, Wawasan Tugas Guru dan Tenaga Kependidikan,  (Jakarta: 2005), hlm. 48.
[8] Y. Dedy Pradipto, Belajar Sejati VS Kurikulum Nasional, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm.177.
[9] Ira Shor & Paulo Freire, Menjadi Guru Merdeka (terj), (Yogyakarta: LKIS, cet-I Mei 2001), hlm. 59.
[10] Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatann Komptensi, (Jakarta: Bumi Aksara, Cetakan keempat, 2006), hlm. 44.
[11]Abdul Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 168.
[12] Munif Chatib, Gurunya Mnusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara (Bandung: Kaifa, 2011), hlm. 33.
[13] Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2010), hlm. 76.
[14] Muchlas Samani, Hariyanto, Pendidikan Karakter: Konsep dan Model (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 41.